Potensi Dualisme Kewenangan di Perpres Neraca Komoditas

Iwan Supriyatna Suara.Com
Rabu, 30 November 2022 | 06:34 WIB
Potensi Dualisme Kewenangan di Perpres Neraca Komoditas
Ilustrasi pelabuhan.
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pemerintah diingatkan untuk membenahi potensi dualisme kewenangan dalam kebijakan neraca komoditas (NK). Di satu sisi, lewat Perpres No. 32 Tahun 2022 tentang Neraca Komoditas bakal menjadi dasar acuan menentukan kebijakan ekspor dan impor.

Di sisi lain, pengaturan ini menimbulkan dualisme kewenangan dengan Perpres Nomor 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA).

"Kalau dilihat pada neraca komoditas, mungkin ini ada potensi dualisme kewenangan," kata Penasihat Senior Indonesian Human Rights Committee for Social Justice, Gunawan di sela-sela Alinea Forum bertajuk “Harmonisasi Regulasi dan Akuntabilitas Neraca Komoditas”.

Di Pasal 18 ayat 1 dan 1 Perpres 32/2022 tentang Neraca Komoditas tertuang ketentuan bahwa menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan menerbitkan Persetujuan Ekspor (PE) dan Persetujuan Impor (PI). Selain itu, pada Pasal 16 ayat 2 dan 4 menjelaskan dalam rangka ketersediaan pasokan dan stabilisasi harga, penetapan neraca komoditas berdasarkan rapat koordinasi tingkat menteri yang dipimpin oleh menteri dapat berupa penugasan kepada BUMN.

Baca Juga: Kementerian Hingga Pemda Mulai Pakai Produk Lokal, Jokowi: Tinggalkan Barang Impor

Menurut Gunawan, dalam konteks pangan Perpres Neraca Komoditas terkait ekspor dan impor perlu memperhatikan Perpres NFA. Pada Pasal 49 Perpres 66/2021 terdapat pendelegasian kewenangan dari Menteri Perdagangan dalam hal perumusan kebijakan dan penetapan kebutuhan ekspor dan impor pangan.

"Di NFA ada juga pendelegasian kewenangan dari Menteri Pertanian dalam hal perumusan kebijakan dan penetapan besaran jumlah cadangan pangan pemerintah yang akan dikelola BUMN di bidang pangan. Dan pemberian kuasa dari Menteri BUMN ke BUMN Pangan. Ini sama-sama Perpres," ujar dia,

Karena ada potensi dualisme kewenangan ini, Gunawan menyarankan agar pemerintah bisa lebih memperhatikan kembali batasan kewenangan yang bisa dilakukan di neraca komoditas. Sehingga ke depannya kebijakan yang dihasilkan dapat secara jelas diketahui penanggung jawabnya.

Kian Menyulitkan

Setahun menjalani proses impor lewat neraca komoditas tahun ini, Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi) menyebut aplikasi digital Sistem Nasional Neraca Komoditas (SINAS NK) dalam proses perizinan ekspor dan impor daging justru semakin menyulitkan pengusaha. Alasannya, pengisian SINAS SK lebih detail dibandingkan sebelumnya.

Baca Juga: Campur Tangan Pemerintah Perlu Agar Milenial Akrab Pangan Lokal

"Pada saat di Sinas NK, teman-teman berantakan semua," ujar Sekjen Aspidi Suhandri, dalam kesempatan yang sama.

Sebelum implementasi SINAS NK, Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha (PBUMKU) Ekspor Impor diatur di masing-masing kementerian/lembaga (K/L). Dalam regulasi lama tersebut, menurut Suhandri, pengusaha lebih fleksibel menentukan kategori daging.

Di SINAS NK, kode HS semakin detail. Jika sebelumnya hanya ada tiga kategori daging sapi impor, yaitu premium cut, secondary cut, dan fancy, kini harus dilengkapi dengan kategori lain, yaitu beku dan segar. Kemudian, bertulang dan tidak bertulang.

"Yang dialami teman-teman sejak 2017 hingga sebelum SINAS NK lebih fleksibel. Misalnya, hanya impor premium cut, apakah bertulang atau tidak bertulang akan kami pikirkan berikutnya. Karena kami biasanya impor gelondongan," keluhnya.

Tantangan lain, lanjutnya, terkait rencana kebutuhan tahun depan, dari Januari hingga Desember. Sementara realisasi impor tidak selalu sesuai dengan rencana yang dibuat. Selain itu, importir juga mempertimbangkan pergerakan harga daging yang bisa murah di bulan-bulan tertentu.

"Kami ini pedagang. Kami mempertimbangkan bahwa pada bulan-bulan terntentu harga dagung bisa lebih murah, atau bisa juga di bulan tertentu justru enggak beli," ujarnya.

Kemudian juga ada ketentuan rencana kebutuhan dan pasokan. Dalam SINA NK, pasokan dipecah lagi dan didistribusikan sesuai masing-masing kelompok daging. Hal ini, menurut Suhandri, menjadi kendala bagi pengusaha.

"Ini juga menjadi kendala di teman-teman. Kalau pemerintah melihat semakin detail semakin bagus, buat kami semakin susah. Kami membuat rencana hanya membeli 1 ton atau kami minta 100 ton, bisa-bisa kami minta 200 ton. Yang terjadi kemudian realisasi tidak akan tercapai. Realisasi impor saat ini paling tinggi 15%-20%," tandas dia.

Perlu Evaluasi

Menurut Asisten Deputi Fasilitasi Perdagangan Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian, Tatang Yuliono, neraca komoditas perlu dievaluasi. Sejumlah masalah masih sering ditemui dalam pelaksanaannya.

"Neraca komoditas ini tidak ada acuan yang sama. Misal saja satuan komoditas antar-K/L (kementerian/lembaga) tidak bisa standar. Juga tidak ada transparansi keputusan atau self level agreement (SLA), dan tidak ada proses ketertelusuran dalam perizinan yang lalu," kata Tatang.

Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK), jelas Tatang, telah menggunakan perbaikan tata kelola ekspor impor melalui neraca komoditas. Sementara itu, akuntabilitas dan transparansi tata kelola ekspor impor melalui neraca komoditas menggunakan Sistem Nasional NK (SINAS NK).

Mengacu Perpres Nomor 54 Tahun 2018 tentang Stranas PK, terdapat tiga fokus pencegahan korupsi. Poin pertama menyasar perizinan dan tata niaga. Apabila neraca komoditas telah dievaluasi, menurut Tatang, dalam perspektif penetapan kebijakan, nantinya dukungan pengambilan kebijakan nasional, seperti alokasi impor, akan berbasis data yang terstandar dan tunggal yang telah disepakati antar-K/L yang bersangkutan.

"Untuk menciptakan data yang standar ini, kami menyusun struktur komoditas untuk disepakati seluruh K/L yang terlibat, sehingga nantinya ketika impor, tidak ada satu komoditas yang tercecer," jelas Tatang.

Lalu, ketertelusuran data komoditas dari hulu, yaitu hasil rapat koordinasi terbatas kementerian, hingga ke hilir, seperti persetujuan impor atau ekspor (PI/PE) dan pemberitahuan impor atau ekspor barang (PIB/PEB) yang akan saling terhubung. Selanjutnya, juga ada kebijakan komoditas yang sinkron dari hulu ke hilir.

"Misalnya, ada kebutuhan beras pecah. Nanti disepakati nomenklatur beras pecah. Tapi tidak bisa ditentukan oleh satu kementerian, harus dikoordinasikan dengan kementerian lain, dari hulu sampai hilir," paparnya.

Dari layanan operasional, neraca komoditas akan memberikan kejelasan peran masing-masing K/L yang terlibat, kejelasan utilisasi output verifikasi K/L, kejelasan data tersedia, dan jaminan terpenuhinya data.

Sementara bagi pengguna jasa atau pelaku usaha, Tatang menyatakan, neraca komoditas akan memberikan simplifikasi dokumen persyaratan. Dengan demikian, bisa meminimalisasi repetisi dan duplikasi dokumen persyaratan.

"Neraca komoditas nantinya memberikan efisiensi layanan dengan penerapan fitur pengajuan rencana kebutuhan sekaligus pengajuan PI/PE, juga memberikan kepastian layanan," tandas Tatang.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI