Suara.com - Republik Rakyat Cina (RRC) diperkirakan akan mempercepat proyek modernisasi militernya. Hal ini ditandai dengan pidato Presiden Xi Jinping pada 16 Oktober lalu yang menyampaikan tekadnya untuk mempercepat proses transformasi militer sehingga pada perayaan 100 tahun berdirinya Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) yang jatuh pada bulan Agustus 2027, angkatan bersenjata China telah menjadi militer kelas dunia.
“Negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, perlu mewaspadai peningkatan kekuatan militer Republik Rakyat Cina (RRC) dalam 5 tahun ke depan. Pasalnya, Presiden Xi Jinping yang baru saja terpilih kembali sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Cina (PKC) untuk periode 2022-2027 dinilai memiliki ambisi untuk menjadikan militer Cina sebagai militer kelas dunia lebih cepat dari pada target semula,” demikian pernyataan yang disampaikan oleh Ketua Forum Sinologi Indonesia, Johanes Herlijanto.
Menurut Johanes, yang juga Dosen Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan (UPH) ini, ambisi Presiden Xi tersebut terlihat dalam pidato beliau pada pembukaan Kongres Nasional PKC ke 20 tangal 16 Oktober yang lalu.
Dalam pidato tersebut, Xi menyampaikan tekadnya untuk mempercepat proses transformasi militer Cina, agar pada perayaan 100 tahun berdirinya Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) yang jatuh pada bulan Agustus 2027 nanti, angkatan bersenjata China telah menjadi militer kelas dunia.
Baca Juga: Xi Jinping Kirim Pesan Duka Cita, Pemerintah China Siapkan Bantuan untuk Gempa Cianjur
Ini berarti bahwa proyek modernisasi militer Cina direncanakan untuk berlangsung jauh lebih cepat dari pada yang dicanangkan oleh Xi pada kongres PKC ke-19 tahun 2017 yang lalu. Saat itu, Xi menyampaikan misinya untuk menuntaskan proses modernisasi angkatan bersenjata Cina secara mendasar pada 2035, sehingga pada pertengahan abad ke 21, militer Cina diprediksi telah sepenuhnya bertransformasi menjadi angkatan bersenjata kelas dunia.
Dalam pandangan Johanes, tekad Xi tampaknya sangat mungkin terlaksana mengingat perkembangan militer Cina akhir-akhir ini terlihat sangat pesat, khususnya dalam hal modernisasi alutsista mereka.
Sebagai contoh, kapal induk ketiga mereka, Fujian, baru saja diresmikan pada 22 Juni 2022 yang lalu. Jumlah kepemilikan kapal dari angkatan laut Cina pun seimbang, bila tidak melebihi, kepemilikan kapal dari angkatan laut Amerika Serikat.
“Sebuah studi yang dipublikasikan pada September lalu oleh sebuah lembaga riset yang ada di Washington memperkirakan bahwa pada akhir dasawarsa 2020-an, kekuatan angkatan laut Cina akan bertambah sebanyak 40 persen. Ini belum termasuk kekuatan-kekuatan lainnya,” kata Johanes.
Proyeksi peningkatan kekuatan militer Cina di atas dikhawatirkan akan membawa dampak, baik jangka pendek maupun panjang, bagi negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Pasalnya, dalam pidato di atas, Xi juga menggarisbawahi komitmennya untuk meningkatkan kemampuan demi mempertahankan kedaulatan, keamanan, dan kepentingan pembangunan Cina.
Baca Juga: Sebut Hanya Jokowi yang Bisa Mempertemukan Joe Biden dan Xi Jinping, HMI: Luar Biasa!
Komitmen yang disertai dengan peningkatan kekuatan militer di atas, tentu berpotensi meningkatkan ketegangan di kawasan Laut Cina Selatan, di mana terdapat sengketa kepemilikan wilayah antara Cina dan beberapa negara Asia Tenggara. Sengketa tersebut masih menjadi salah satu isu keamanan yang belum terselesaikan di kawasan Asia-Pasifik.
Apalagi, meski dalam beberapa pidatonya Xi seringkali memberi penekanan pada perdamaian dan penolakan penggunaan kekuatan semena semana, insiden-insiden di Laut Cina selatan tetap saja terjadi.
Insiden dengan Filipina misalnya, terjadi pada tahun 2021 ketika 3 kapal penjaga pantai Cina menyerang perahu logistik Filipina menggunakan senjata air (water canon). Peristiwa pengadangan terhadap kapal pembawa logistik Filipina terjadi kembali pada akhir Juni tahun ini. Sementara itu pada Oktober tahun lalu, Malaysia melayangkan proses atas masuknya kapal-kapal Cina ke wilayahnya.
Cina juga dikabarkan telah melakukan militerisasi secara penuh pada setidaknya 3 dari beberapa pulau yang dibangunnya di wilayah yang masih disengketakan di Laut Cina Selatan. Padahal pada 2015, Presiden Xi pernah memberikan janji bahwa Cina tidak akan melakukan militerisasi pada pulau-pulau tersebut.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, pada Maret 2022 lalu, Kementerian Luar Negeri Cina menyatakan bahwa Cina memiliki hak membangun fasilitas pertahanan di wilayah yang Cina klaim sebagai milik Cina itu.
“Berkaca pada pengalaman di atas, maka sangat perlu bagi negara-negara Asia Tenggara untuk bersikap waspada terhadap peningkatan kemampuan militer Cina seperti yang ditargetkan Xi di atas,” komentar Johanes.
Johanes juga berpendapat bahwa Indonesia pun perlu waspada terhadap peningkatan kekuatan militer yang disertai dengan penekanan komitmen untuk mempertahankan kedaulatan Cina di atas.
Kewaspadaan ini perlu karena sejak dasawarsa 1990 an yang lalu, Cina secara sepihak memperkenalkan 9 garis putus-putus yang salah satunya menyasar ke sebagian dari wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia, dan menganggapnya sebagai wilayahnya.
“Meski klaim Cina terhadap sebagian dari perairan yang kini bernama Laut Natuna Utara itu tidak memiliki dasar hukum yang kuat berdasarkan UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea), kita tetap harus waspada mengingat Cina nampaknya tetap berupaya mempertahankan klaim nya,” tuturnya.
Klaim Cina di atas dibarengi dengan manuver kapal-kapal penjaga pantai dan nelayan China, yang seringkali mengganggu kapal-kapal nelayan Indonesia di sana. Bahkan pada tahun 2021 lalu, media di Indonesia melaporkan hadirnya beberapa kapal perang Cina, antara lain berjenis Frigate dan Destroyer, di kawasan ZEE Indonesia di Natuna.
Kehadiran kapal perang Cina, bersama kapal survey dan kapal penjaga pantai, juga terlihat pada akhir tahun lalu, ketika Cina melakukan protes terhadap pengeboran lepas pantai yang dilakukan Indonesia dan perusahaan-perusahaan dari negara mitra di wilayah ZEE Indonesia. Manufer-manufer di atas tentu tak selaras dengan semangat anti-hegemoni dan anti penggunaan kekuatan semena-mena yang pernah ditekankan oleh Presiden Xi dalam beberapa kesempatan.
Dampak lain yang menurut Johanes harus diwaspadai adalah meningkatnya ketegangan antara Cina dan Barat di wilayah Asia Pasifik, seiring dengan meningkatnya kekuatan militer Cina di atas.
“Meski Cina berkali kali menyampaikan penolakan terhadap ‘mentalitas perang dingin,’ penolakan ini nampaknya dialamatkan kepada negara-negara Barat, dan oleh karenanya justru berpotensi meningkatkan ketegangan antara mereka,” pungkasnya.