Suara.com - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memberi ultimatum kepada PTTEP perusahaan asal Thailand tidak hanya membayarkan kompensasi atas tumpahan minyak saja, tetapi juga memperbaiki lingkungan di Laut Timor.
Untuk diketahui, PTTEP akhirnya menyetujui pembayaran kompensasi atas tumpahan minyak di Laut Timor pada tahun 2009 silam. Perusahaan tersebut, akan membayar sebesar 192,5 juta dolar Australia atau setara Rp2,03 triliun (Kurs Rp10.559).
"Kita tidak mau, supaya orang hanya bayar kita, tidak. Dia harus dong perbaiki lingkungan," ujar Luhut dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Kemaritiman dan Investasi, Jakarta, Kamis (24/11/2022).
Menurutnya, kompensasi ini murni akan diserahkan ke para nelayan dan masyarakat sekitar yang terdampak dari tumpahan minyak tersebut.
Baca Juga: Menko Luhut Kesal Kasus Tumpahan Minyak Montara Harusnya Selesai Sebelum Pemerintahan Jokowi
Luhut juga mengingatkan, agar uang kompensasi tersebut bisa dikelola dengan baik, agar tidak dikeluarkan sia-sia.
"Saya usul, dibuat koperasi nelayan, agar bisa dikelola secara profesional," ucap dia.
Luhut menegaskan, pihaknya akan memantau perbaikan-perbaikan yang dilakukan oleh PTTEP. Dia tidak mau, PTTEP menganggap bahwa dengan dana kompensasi, semua urusan sudah selesai.
"Jangan orang pikir enaknya saja, Jadi orang luar ini melihat Indonesia ini bisa dibodoh-bodohin gitu. Tidak. Kita semua aturan standar internasional berlaku, tidak boleh main-main. Tapi kita juga tidak boleh ngarang, ngawur, menuntut yang tidak benar," tegas dia.
Diketahui, insiden tumpahan minyak yang bersumber dari PTTEP pada 2009 lalu telah menyebabkan kerugian secara material dan kematian. Selain itu, banyak para petani rumput laut dan nelayan yang kehilangan mata pencaharian di kawasan Laut Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Baca Juga: Indonesia Bahas Potensi Terjadinya Pencemaran Minyak di Laut Pada Pertemuan RCF ke-41
Tumpahan minyak ini, menyebabkan 90.000 kilometer persegi telah mencemari Laut Timor yang bersumber dari lapangan Montara. Setidaknya 85 % tumpahan minyak ini terbawa oleh angin dan gelombang laut ke perairan Indonesia.
Menurut penelitian dari USAID-Perikanan-Lingkungan Hidup dan Pemerintah NTT pada 2011, menemukan paling tidak ada 64.000 hektar terumbu karang rusak atau sekitar 60 persen terumbu karang di perairan Laut Sawu hancur. Ikan-ikan dasar laut dan udang banyak yang mati.
Selain itu, tidak sedikit ikan hiu dan paus mati di perairan Laut Sawu. Kematian ikan kakap dan sardin menyebabkan berkurangnya tangkapan nelayan, sehingga menimbulkan kenaikan harga ikan di Kota Kupang naik.
Berbagai penyakit juga timbul di masyarakat, seperti gatal-gatal, borok dan lain-lain. Kematian juga menjadi masalah pada kasus ini termasuk sejumlah saksi penting kasus Montara ini.