Dia mencontohkan kalau masyarakat membeli galon A, dan ternyata galon A tidak ada di toko, pembeli harus membawa pulang galon kosong itu. Galon merek A tidak bisa ditukar dengan merek galon B.
Sehingga bisa diartikan, ini adalah kontrak jangka panjang yang disadari atau tidak, terbentuk dari sistem yang ada saat ini.
“Jadi, otomatis di-lock in (pelanggan dikunci). Switching cost-nya (biaya ganti galon ke merek lain) jadi mahal. Ada lock in dan ada switching cost. Inilah yang membuat sebuah barrier.”
Budisatrio menegaskan produsen yang berhasil melakukan lock in secara kuantitas, maka otomatis menjadi sangat dominan dalam pasar.
Sementara itu, anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tubagus Haryo juga mengingatkan produsen galon AMDK agar bersikap terbuka kepada publik di Indonesia.
“Konsumen harus mendapat informasi apakah galon yang digunakan isinya, termasuk segel, benar-benar baru dan asli. Produsen dan distributor seharusnya memberikan informasi sejelas mungkin seputar galon AMDK, agar konsumen mendapatkan haknya dengan benar," kata dia, dikutip dari Antara.
Tubagus mendesak agar produsen galon AMDK melakukan inspeksi secara berkala pada galon-galon yang ada di distributor, agen atau di pasaran untuk menghindari adanya penyimpangan.
”Inspeksi ini bisa ditindaklanjuti dengan melakukan pembaruan galon-galon bekas pakai, jika memang sudah tidak layak pakai,” pungkasnya.
Baca Juga: IdeaFest 2022 Hadirkan Program Nexspace, Berikan Kesempatan Akselerasi Bisnis bagi Startup