Suara.com - Keuangan berkelanjutan memiliki peran penting di tengah situasi ekonomi global terutama dengan adanya krisis perubahan iklim yang juga berdampak pada sosial dan ekonomi secara signifikan.
Keuangan Berkelanjutan (sustainable finance) adalah sebuah gerakan dari industri keuangan yang mengedepankan pertumbuhan berkelanjutan dengan menyeimbangkan nilai ekonomi, sosial dan lingkungan hidup.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu) bersama dengan Institute of Chartered Accountants in England and Wales (ICAEW) dan United Nations Development Programme (UNDP) akan mengadakan konferensi bertajuk Indonesia International Conference for Sustainable Finance and Economy 2022: Sustainable Finance Toward a Transition to Net Zero Emission pada 30 November mendatang.
Ajang ini bertujuan mengkaji kebijakan dan upaya yang dibangun untuk memperkuat sektor keuangan Indonesia, termasuk dalam meningkatkan keuangan berkelanjutan dan transisi yang juga menjadi prioritas dari Sustainable Finance Working Group (SFWG) Kepresidenan G20.
Baca Juga: Ekonomi Global segera Masuki Resesi, SBY Bagikan Trik Atasi Krisis
Penerapan akan prinsip keuangan berkelanjutan menjadi salah satu upaya dalam mencapai Paris Agreement dan Sustainable Development Goals (SDGs) di tahun 2030.
Perubahan iklim menjadi salah satu isu yang sangat disorot, bahkan menjadi salah satu topik yang diangkat pada forum Kepresidenan G20 yang juga memiliki kaitan akan kebutuhan dalam mengembangkan strategi yang mampu mendukung transisi net zero emission melalui penerapan keuangan berkelanjutan.
Guna mewujudkan aktivitas transisi dekarbonisasi maka dibutuhkan dana yang cukup besar dan menjadi tantangan dalam mempercepat implementasi dari keuangan berkelanjutan.
Kini, salah satu upaya yang tengah ditempuh oleh pemerintah guna mendorong peningkatan keuangan berkelanjutan melalui transisi net zero emission adalah terciptanya perencanaan roadmap pajak karbon yang bisa diimplementasikan pada industri energi Indonesia.
Melalui kebijakan UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Pasal 13 UU HPP antara lain mengatur, pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif terhadap lingkungan hidup menjadi awalan bagi pemerintah dalam memperkenalkan kebijakan pajak karbon, dengan tujuan aturan ini dapat mengubah perilaku ekonomi agar beralih pada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon.
Baca Juga: Ancaman Resesi Ekonomi, Microsoft PHK Ratusan Karyawan
Kebijakan ini dibuat selaras dengan Paris Agreement yang telah diratifikasi Indonesia yang di dalamnya terdapat komitmen Nationally Determined Contribution (NDC). Melalui komitmen NDC, Indonesia berupaya mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
Selain kebijakan pajak karbon, kebijakan lainnya yang diterapkan pemerintah untuk mendukung transisi menuju ekonomi hijau yaitu akuisisi energi bersih, aturan mengenai pensiun dini PLTU batu bara dan konversi sumber energi kotor.
Institute of Chartered Accountants in England and Wales (ICAEW) yang juga berperan dalam kegiatan konferensi mendatang meyakini bahwa diperlukan sebuah inovasi yang solutif bagi keuangan berkelanjutan untuk terus dapat berjalan guna mempercepat kemampuan bangsa Indonesia mencapai target transisi menuju net zero emission di tahun 2030.
Conny Siahaan, ICAEW Head of Indonesia, mengatakan, “ICAEW melihat bahwa krisis perubahan iklim setiap tahunnya semakin meningkat. Hal ini menjadi perhatian bagi kami untuk berpartisipasi dan mendorong terciptanya keuangan berkelanjutan yang mampu mempercepat transisi menuju net zero emission. Kebijakan dalam menjalankan peran dari sisi keuangan yang tepat akan sangat berpengaruh tidak hanya untuk saat ini tetapi juga kepada generasi yang akan datang.”
Dengan memprioritaskan peningkatan keuangan keberlanjutan bagi sektor swasta maka diperlukan ekosistem pendukung yang lebih besar terutama dalam penerapan mobilisasi keuangan berkelanjutan yang tepat.