Suara.com - Apa misi yang seharusnya dimiliki oleh setiap pengusaha ketika membangun bisnis dan mendirikan perusahaan? Misi utama setiap pengusaha dan perusahaan semestinya adalah menciptakan customer value yang pada akhirnya bertujuan untuk membuat dunia menjadi lebih baik.
Demikian ditegaskan Prof. Ki-Chan Kim ketika ditemui di ruang kerjanya di lantai 4 di Gedung A, Kampus President University (Presuniv), Jababeka Education Park, di kawasan industri Jababeka, Cikarang, beberapa waktu lalu.
Kim menyebut konsepnya itu dengan istilah Humane Entrepreneurship. Konsep ini dapat diterapkan baik bagi perusahaan rintisan (startup) atau perusahaan yang sudah beroperasi selama puluhan tahun.
Kim adalah Professor of Management di Catholic University of Korea, Korea Selatan, dan Distinguished Professor di George Washington University, Amerika Serikat. Selama enam bulan ke depan, Kim akan menjadi visiting professor di Presuniv. Sebagai visiting professor, Kim akan memberikan kuliah, menjadi mentor, dan membagikan pengalamannya ke segenap civitas academica di lingkungan Presuniv.
Baca Juga: Gandeng PIM, President University Sediakan 400 Beasiswa S1
Rektor Presuniv Prof. Dr. Chairy menyambut baik kehadiran Kim sebagai visiting professor.
“Hadirnya Prof. Kim tentu akan semakin memperkuat iklim internasional yang sudah terbentuk di Presuniv. Selain itu, saya juga berharap Prof. Kim dapat mendorong Presuniv meningkatkan kegiatan penelitian dalam bidang manajemen dan entrepreneurship.” katanya.
Chairy menambahkan, selain sebagai akademisi, Prof. Kim juga banyak memberikan saran dan masukkan bagi sejumlah perusahaan rintisan (startup), pebisnis skala kecil dan menengah, serta perusahaan-perusahaan multinasional, seperti Samsung Electronics dan Hyundai Motors.
“Prof. Kim banyak memberikan saran kepada perusahaan-perusahaan tersebut tentang bagaimana cara membangun model bisnis dan ekosistem yang berkelanjutan. Konsep semacam ini bukan hanya menarik untuk dipelajari, tetapi juga sangat bisa diterapkan,” kata Chairy.
Saat ini Kim juga menjabat sebagai Chairman Innovation Economy Division di National Economic Advisory Council (NERC), lembaga yang langsung bernaung di bawah Presiden Korea Selatan. Selain itu Kim juga menjadi President International Council for Small Business (ICSB).
Baca Juga: Duh, Jessica Iskandar Diduga Bohong Soal Ditipu Rp 9,8 Miliar, Pengacara Lawan Beberkan Faktanya
Selama memimpin ICSB, Kim menekankan betul pentingnya kepuasan kerja bagi para karyawan yang bekerja di perusahaan skala kecil dan menengah. Berkat lobi dan inisiatif Kim, bersama dengan jejaringnya di ICSB, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) akhirnya menetapkan 27 Juni sebagai Hari Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sedunia.
Sebagai akademisi, Kim juga melakukan penelitian untuk menemukan keterkaitan antara tingkat kepuasan kerja karyawan dengan komitmennya terhadap produk.
Hasilnya? Kim menemukan hubungan yang tak terbantahkan antara tingkat kepuasan kerja karyawan dengan komitmennya terhadap produk. Semua itu pada akhirnya membentuk dedikasi karyawan yang sangat kuat terhadap perusahaan.
Itu sebabnya Kim menyimpulkan bahwa dedikasi karyawan sebetulnya adalah aset utama perusahaan. Bukan aset fisik, seperti gedung, mesin-mesin, bahan baku, atau sumber daya finansial.
Sejalan dengan gagasannya tersebut, pada 2019, Kim menulis buku yang berjudul The Joy of Innovation. Lewat bukunya ini Kim menekankan pentingnya inovasi untuk membuat bisnis menjadi tetap kompetitif di pasar yang terus bergejolak.
Buku ini berhasil meraih penghargaan King Sejong Book Collection 2020 dalam ajang Penghargaan Buku Nasional se-Korea Selatan.
Selama menjadi visiting professor, Kim mencermati betul strategisnya lokasi kampus Presuniv yang berada di tengah-tengah kawasan industri Jababeka, yang tercatat sebagai kawasan industri terbesar se-Asia Tenggara. Di kawasan ini ada sekitar 1.750 perusahaan dengan skala kecil, menengah dan besar. Dan, ada pula perusahaan berskala nasional dan multinasional. Di antaranya adalah chaebol asal Korea Selatan, seperti Hyundai, Samsung atau LG.
Di sisi lain, seiring dengan perkembangan teknologi, terutama teknologi digital, yang berperan penting dalam Revolusi Industri 4.0, Kim menilai kawasan industri Jababeka layak untuk menjadi Silicon Valley-nya Indonesia. Kim juga melihat Presuniv dapat memainkan peran penting untuk mendukung hadirnya Silicon Valley-nya Indonesia tersebut di Jababeka.
“Presuniv dapat memberikan dukungan dalam bentuk riset dan memasok talenta-talenta yang sejalan dengan kebutuhan Revolusi Industri 4.0.” kata Kim.
Langkah itu sudah dilakukan Presuniv. Untuk merealisasikan gagasan tersebut, Presuniv dan Jababeka berkolaborasi dengan mendirikan Fabrication Laboratory atau FabLab. Kelak, FabLab akan berperan membantu perusahaan-perusahaan yang ingin migrasi dari Revolusi Industri 3.0 ke Revolusi Industri 4.0. Selain itu, FabLab juga menjadi tempat bagi civitas academica di lingkungan Presuniv untuk belajar dan mengembangkan ide-ide inovasi yang selaras dengan Revolusi Industri 4.0.
“Sebagai visiting professor, saya berharap bisa ikut mengambil peran untuk menjadikan Presuniv sebagai kampus yang dapat memimpin dalam penerapan Artificial Intelligence (AI).” kata Kim.
AI adalah salah satu teknologi yang berperan penting dalam Revolusi Industri 4.0.
Dalam suatu kesempatan, Kim memaparkan dalam kuliah tamunya bahwa untuk menguasai AI Data Analitycs hanya membutuhkan waktu lima jam. Menggunakan aplikasi Orange Data Mining, Kim menjelaskan tentang proses data mining dan data analitycs melalui konsep visual programming.
“Dengan aplikasi Orange Data Mining, seseorang tidak lagi harus belajar coding untuk melakukan AI Data Analytics,” urainya.
Selain itu, Kim juga ingin ikut bisa berperan untuk semakin memperkuat internasionalisasi Presuniv. Apalagi selama ini Presuniv sudah banyak merekrut dosen asing dan menyelenggarakan sistem perkuliahannya dengan menggunakan bahasa Inggris.
“Saya akan mendorong Presuniv untuk aktif melakukan kerja sama pada tingkat global baik dengan sesama universitas di luar negeri maupun dengan perusahaan-perusahaan asing,” papar Kim.
Bicara soal Humane Entrepreneurship, Kim menekankan tentang pentingnya peran Chief Executive Officer atau CEO.
“Dalam bisnis, CEO memiliki peran lebih dari 80%. Jadi, sangat penting bagi seorang CEO untuk memahami konsep dan penerapan dari Humane Entrepreneurship.” Kata Kim, jika CEO bisa menerapkan konsep Humane Entrepeneurship, karyawan akan mampu mengeluarkan ide-ide terbaiknya dan meningkatkan keterlibatan di perusahaan. Jika karyawan mampu memberikan ide dan kinerja terbaiknya, perusahaan tentu akan mendapatkan hasil yang terbaik pula.”
Agar tak salah jalan dalam menerapkan konsep Humane Entrepreneurship, seorang CEO perlu memiliki “bintang timur”. Dengan panduan “bintang timur”, seorang CEO yang berjalan di tengah gelapnya malam pun sekalipun akan menemukan arah yang benar. Lalu, apa sejatinya “bintang timur” bagi seorang CEO? Kim menjawab tegas, “Kemanusiaan atau humanity!”
Kim menguraikan, “Bisnis haruslah mengerjakan sesuatu yang baru dan ditujukan untuk menyenangkan banyak orang. Agar bisa melakukan itu, bisnis harus dikerjakan dengan hati, dengan kemanusiaan. Jika tanpa hati, tidak ada rasa kemanusiaan, bisnis ibarat senjata.” Bisnis semacam ini bisa merugikan banyak orang.
Contohnya adalah Adolf Hitler yang oleh Kim disebut sebagai salah seorang marketer terbaik di dunia. Katanya menjelaskan, “Hitler adalah orang yang sukses dalam melakukan persuasi dengan memperkenalkan neraka sebagai surga. Hitler juga orator yang sangat persuasif.” Lewat propagandanya, urai Kim, Hitler mampu meyakinkan banyak orang bahwa dunia yang sedang dibangunnya adalah surga.
“Apa yang Hitler lakukan itu sangat cerdas. Tapi, dia tak punya hati dan rasa kemanusiaan. Akibatnya 52 juta orang meninggal karena ulah Hitler,” cetus Kim.
Jadi, bisnis tidak boleh menjadi senjata. Itu sebabnya, tegas Kim, sekarang ini dunia sangat membutuhkan entrepreneurship yang mempunyai hati dan humanity. Entrepreneurship yang hanya mengandalkan teknologi, tetapi tanpa hati dan kemanusiaan, itu bisa membuat bisnis menjadi senjata yang membahayakan.
Entrepreneurship dan Marketing 5.0. Konsep ini, urai Kim, mencoba menyintesiskan antara kemanusiaan, bisnis, dan pemasaran. Ia menegaskan, pemasaran menjadi arah dan tujuan dari bisnis. Jika tanpa arah, kata Kim, sebuah perusahaan akan terombang ambing ke sana ke mari.
Jadi, perusahaan harus mempunyai tujuan yang jelas. Kalau tidak, tegas Kim, itu sama saja dengan membuang-buang sumber daya. Di tengah perkembangan teknologi yang begitu pesat, pemasaran harus berjalan beriringan dengan teknologi.
“Pada era sekarang, penggunaan teknologi harus untuk high-touch marketing,” kata Kim.
Menggagas soal peran teknologi dalam Marketing 5.0, Kim menyebut salah satu buku terbaik yang membahas mengenai hal tersebut, yakni Marketing 5.0: Technology for Humanity karya Philip Kotler. Menurut Kim, buku ini memberikan arah baru pemasaran di era teknologi. Hanya Kim menegaskan bahwa pada Marketing 5.0, pemasaran tetap harus diarahkan menuju kemanusiaan.