KTT G20: Siapa yang akan Membayar Tagihan Listrik Bersih Indonesia?

SiswantoBBC Suara.Com
Rabu, 16 November 2022 | 18:16 WIB
KTT G20: Siapa yang akan Membayar Tagihan Listrik Bersih Indonesia?
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Jonathan Head

BBC News, melaporkan dari Bali

---

Berkendara dari ketinggian gunung berapi yang melintasi Bali, Anda akan mendapatkan keindahan pemandangan alami, termasuk alam yang dibentuk dari buah tangan manusia. Perpaduan keindahan yang telah menciptakan "pulau dewata" sebagai permata di mahkota wisata Indonesia.

Baca Juga: Jangan Angggap Remeh, Ini Pentingnya Penggunaan Energi Terbarukan untuk Ekosistem Digital yang Hijau dan Berkelanjutan

Namun, ketika Anda turun ke wilayah pantai bagian utara, ada pemandangan yang cukup mencengangkan. Sebuah cerobong asap tinggi berwarna garis merah-putih muncul dari kompleks bangunan berwarna abu-abu dan biru, dengan jalur konveyor panjang mengarah ke laut.

Gundukan besar batu bara ditumpuk di tempat penampungan, dan tampak kapal tongkang setengah tenggelam karena beratnya muatan, seakan ia mau menumpahkan isinya ke lautan.

Ini adalah PLTU Celukan Bawang, salah satu jaringan pembangkit listrik tenaga batu bara. Subjek yang saat ini menjadi negosiasi alot untuk mengurangi emisi.

Tapi jalan menanjak akan dilalui negara-negara berkembang untuk menuju energi bersih, karena mereka belum sepenuhnya pulih dari efek Covid-19 yang mematikan. Dan, itu tidak berbeda untuk negara yang tumbuh cepat berpenduduk 275 juta jiwa ini - Indonesia.

Baca Juga:

Baca Juga: Amazon Targetkan Operasional Bisnis Gunakan Energi Terbarukan di 2025

PLTU Celukan Bawang mulai beroperasi pada 2015, bertepatan saat Presiden Joko Widodo mengumumkan kampanye "Indonesia Terang".

Jokowi, begitu panggilannya, telah memenangkan pilpres untuk kedua kalinya dengan rekam jejak sebagai kepala daerah di Jakarta dan Solo - berjanji untuk memperbaiki infrastruktur negaranya yang bobrok.

Dia mengumumkan rencana memperluas pembangkit listrik 35.000 megawatt selama empat tahun ke depan, untuk mengatasi kekurangan pasokan listrik. Hal ini dilakukan, terutama dengan membangun puluhan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara yang melimpah di Indonesia.

Pada saat Celukan Bawang direncanakan, Bali mengalami kekurangan pasokan listrik, yang bisa menjadi pukulan bagi industri pariwisata. Dengan demikian, pasokan listrik yang lebih andal menjadi prioritas utama.

Tapi dalam perjalanan pembangunannya sejak awal sudah mengundang kontroversi. Terjadi sengketa lahan dengan penduduk lokal, dan keluhan polusi.

"Sejak mereka mulai beroperasi, kami tidak lagi menemukan jenis ikan tertentu," kata Supriyadi, seorang nelayan yang tinggal beberapa ratus meter dari pembangkit listrik. "Ikan-ikan sudah berpindah lebih jauh ke laut, dan orang-orang tidak mau membeli hasil tangkapan kami."

Kelompok pemerhati lingkungan telah berkampanye menolak PLTU Celukan Bawang, mengajukan gugatan terhadap rencana untuk peningkatan kapasitasnya. Kemudian, perusahaan yang didanai China meresponnya dengan mempekerjakan orang-orang bertubuh kekar untuk berjaga di luar pabrik, dan menghentikan orang-orang bahkan untuk memotret pabrik dari luar.

Kepala kepolisian setempat mengatakan kepada BBC, bahwa ia sudah diperintahkan untuk memastikan tidak ada yang merekam apa pun di wilayahnya selama pertemuan G20 berlangsung. Dan, kelompok pengunjuk rasa yang berencana bersepeda dari Jakarta untuk menyampaikan aspirasinya, telah diblokir untuk menyeberang ke Bali.

Kejadian itu terjadi, di saat Jokowi belakangan ini tiba-tiba peduli soal isu lingkungan.

"Sampai setahun lalu, ada kata-kata tertentu yang tak bisa diucapkan di kalangan pemerintah. Soal iklim satu suara, dan penghapusan batu bara menjadi hal lain," kata Adhityani Putri dari Cerah, yayasan yang bekerja untuk transisi energi berkelanjutan.

"Maju lebih cepat satu tahun, kami sekarang melihat pemerintah pada akhirnya menganggap serius transisi iklim dan energi, saat Presiden Jokowi mengatakan ini di panggung internasional, dan transisi energi menjadi salah satu agenda prioritas di G20."

Perubahan itu datang dari COP26 - KTT Iklim di Glagow pada 2021 - ketika Indonesia mengatakan akan menghapus energi batu bara sebelum 2050. Sejak itu, ada banyak aturan dari pemerintah, terakhir keputusan presiden untuk menghentikan PLTU baru.

Tapi syarat dan ketentuan berlaku.

Proyek yang sudah terlanjur disetujui tetap boleh dilanjutkan. Fasilitas yang akan menggerakan industri penting, seperti tambang raksasa di Indonesia timur yang akan memasok banyak nikel untuk kebutuhan baterai mobil listrik, masih diizinkan untuk dibangun.

Dan Indonesia, sebenarnya akan memproduksi lebih banyak listrik dari batu bara untuk beberapa tahun ke depan, sebelum produksinya mulai dipangkas pada akhir dekade ini.

Bahkan kemudian, terdapat pembicaraan untuk melanjutkan penggunaan batu bara dengan cara lain seperti gasifikasi - mengubah batu bara menjadi dimetil eter (DME), pengganti bahan bakar gas cair (LPG).

Ini belum menjadi lompatan besar bagi target Indoensia untuk nol emisi pada 2060. Tapi ini akan dikejar secepatnya, kata Luhut Binsar Panjaitan, menteri koordintor bidang kemaritiman dan investasi sekaligus negosiator utama Indonesia dalam hal transisi energi.

"Kami tidak akan membuat kebijakan yang membahayakan generasi berikutnya," tambahnya. "Saya telah memberikan parameter yang jelas pada tim perunding kami - apa pun yang kami lakukan, jangan ganggu pertumbuhan ekonomi kami. Kami harus memiliki teknologi bersih yang terjangkau. Dan kami membutuhkan lini masa yang tepat untuk ekonomi kami."

Luhut mengklaim bahwa emisi gas karbon per kapita Indonesia masih di bawah Amerika Serikat, dan berada di bawah rata-rata global.

Pemerintahannya menaruh kepercayaan pada teknologi pengangkap karbon, dan pembakaran batu bara "super-kritis" yang efisien untuk membuat pembangkit listrik lebih bersih - tindakan yang disambut skeptis oleh para pemerhati lingkungan.

Kalangan aktivis juga mengatakan bahwa daerah yang padat penduduknya seperti Jawa dan Bali, saat ini mengalami surplus listrik.

"Kenapa pemerintah kami masih ingin membangun pembangkit listrik tenaga batu bara yang baru? Bagi saya tidak masuk akal," kata Adlila Isfandiary, juru kampanye iklim dan energi dari Greenpeace yang mengatakan Jawa, pulau terpadat di Indonesia, sudah kelebihan listrik sampai 46%.

"Jumlah pembangkit listrik yang rencananya akan dipensiunkan lebih sedikit dibandingkan jumlah yang akan dibangun. Kenapa mereka mengatakan butuh uang untuk mempensiunkan pembangkit listrik lama, tapi mereka masih membelanjakan untuk pembangkit listrik yang baru?

Dan jika Anda membangun PLTU yang baru, ini artinya sudah tidak ada ruang lagi untuk membangun energi terbarukan."Dia mengatakan, Indonesia memiliki sumber energi terbarukan yang melimpah, tapi belum banyak yang terjamah.Tapi ada masalah lain yang membuat Indonesia tertahan untuk menuju energi bersih.

Indonesia adalah negara terbesar penghasil batu bara, dan para pemerhati lingkungan kahwatir bahwa banyak kepentingan bisnis yang merintangi ambisi pemerintah untuk transisi energi bersih.

Kemudian ada juga perlawanan dari PLN - badan usaha negara yang memonopoli pasokan listrik penduduk. Saat ini sedang mengalami kesulitan keuangan, sebagian disebabkan karena memproduksi listrik lebih banyak dari yang dibutuhkan. Terlebih, permintaan mengalami penurunan selama masa pandemi.

Sebagian lagi dikarenakan PLN harus menjual listrik kepada konsumen dengan harga rendah di tengah kenaikan harga bahan bakar minyak.

PLN juga memiliki kontrak jangka panjang dengan kontraktor swasta untuk membangun pembangkit listrik baru. Menariknya, PLN membatasi industri, bangungan komersial, dan rumah tangga di Bali untuk mendapatkan lebih dari 15% listrik dari panel surya - membuat sumber energi terbarukan tidak terjangkau secara ekonomi.

Tapi mungkin tantangan terbesar bagi pembangkit listrik di Indonesia ini karena masih sangat baru, tidak seperti Afrika Selatan, negara pertama yang memulai berunding untuk mengurangi penggunaan batu bara di bawah kesepakatan Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JETP) - program pendanaan dari negara-negara maju untuk proses transisi energi di negara berkembang.

Melalui kesepakatan ini, negara-negara kaya dan lembaga keuangan internasional bersama-sama membiayai negara berkembang, agar bisa menjauh dari listrik bertenaga batu bara.

Di Afrika Selatan, sebagian besar pabrik yang terdaftar untuk menghentikan penggunaan batu bara sudah hampir habis masa kontraknya. Tapi di Indonesia, karena pembangkit listriknya baru, dan dibangun dengan utang, maka biaya penghentiannya akan mahal."Di sinilah pembiayaan Kemitraan Transisi Energi masuk," kata Putri. "Mereka masih harus membayar kembali pinjaman kepada pengembang untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara ini.

"Di sinilah dunia internasional perlu turun tangan dan memberikan pembiayaan murah, pinjaman lunak, atau hibah, campuran dari itu, yang akan membantu Indonesia untuk melunasi pinjaman itu lebih cepat, dan kemudian mereka bisa mempensiunkan PLTU 10 tahun lebih awal."

Berapa banyak uang yang diperoleh Indonesia untuk menutup pembangkit listrik tenaga batu bara? Saat ini menjadi subjek dari beberapa negosiasi yang alot, di bawah JETP di mana mantan Menteri Luar Negeri AS, John Kerry yang memimpin kelompok negara maju.

Tapi itu akan mencapai puluhan miliar dolar yang berasal dari berbagai sumber, baik pemerintah maupun swasta.

Andaikan kesepakatan ini berjalan sukses, dimulai dari negara sebesar Indonesia, maka ini bisa menjadi contoh dan preseden bagi banyak negara lain untuk diikuti.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI