Suara.com - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan kinerja Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) hingga bulan September 2022 menunjukan capaian positif.
Hal itu disampaikan Sri Mulyani pada jumpa pers hasil rapat berkala Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) ke IV tahun 2022 secara virtual, Kamis (3/11/2022).
”Posisi APBN secara keseluruhan masih dalam posisi surplus anggaran mencapai Rp60,9 triliun (0,33% PDB). Dari sisi Keseimbangan Primer surplus mencapai Rp339,4 triliun. Kinerja yang positif tersebut disumbangkan oleh realisasi Pendapatan Negara dan Hibah yang mencapai Rp1.974,7 triliun atau (87,1% dari target yang tercantum di dalam Perpres 98/2022,” papar Sri Mulyani.
Dalam kesempatan itu, Menkeu juga menyampaikan belanja negara hingga triwulan III 2022 telah mencapai Rp1.913,9 trilliun atau 61,6% dari total anggaran belanja yang tercantum di dalam perppres 98/2022. Sementara, realisasi pembiayaan APBN mencapai Rp429,8 triliun (51,2% dari target pembiayaan).
Baca Juga: Minta Produksi Kendaraan Listrik Diperbanyak, Menhub: Subsidi BBM Menekan APBN
“Peranan APBN akan terus ditingkatkan sebagai shock absorber karena berbagai guncangan dari ekonomi global masih akan terus berlangsung dan ini akan dilakukan secara hati-hati dan secara tepat sasaran karena ketidakpastian global masih akan terus berjalan,” ucapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Menkeu juga menyebutkan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) triwulan III tahun 2022 masih tetap sehat dengan kinerja ekspor yang juga diperkirakan masih tetap terjaga kuat.
“Posisi cadangan devisa pada akhir September 2022 juga masih tetap kuat, tercatat pada level yang masih tinggi yaitu USD130,8 miliar. Hal ini setara dengan pembiayaan 5,9 bulan impor,” lanjutnya.
Selain itu, penguatan juga terjadi di sisi nilai tukar rupiah. Terpantau stabilitas nilai tukar Rupiah tetap terjaga di tengah tren menguatnya Dolar Amerika Serikat. Indeks nilai tukar Dolar AS terhadap nilai tukar Rupiah sampai dengan 31 Oktober 2022 terdepresiasi 8,62% (ytd), atau masih relatif lebih baik dibandingkan depresiasi berbagai mata uang sejumlah negara berkembang lainnya.
“Tren depresiasi nilai tukar negara-negara berkembang didorong oleh menguatnya Dolar AS akibat kebijakan policy moneter yang diadopsi Federal Reserve, juga akibat meningkatnya ketidakpastian keuangan global akibat pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif terutama di AS,” ungkap Menkeu.
Baca Juga: Belanja Daerah Masih Seret, Sri Mulyani Wanti-Wanti Ini