Suara.com - Tekanan global yang mengerek harga-harga barang, serta kenaikan cukai rokok tinggi pada 2022 bikin emiten-emiten rokok gagal mengebul. Kuartal III-2022, laba bersih dua pabrikan rokok besar kompak terjun payung.
PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) mencatat penurunan laba hingga 11,6% (yoy), sedangkan laba PT Gudang Garam Tbk (GGRM) terkontraksi hingga 63,92% (yoy).
Melansir laporan keuangan Kuartal III-2022, laba Gudang Garam menurun 63,92% (yoy) menjadi Rp1,49 triliun dibandingkan periode serupa tahun lalu senilai Rp4,13 triliun.
Padahal, emiten rokok asal Kediri ini turut mencatat peningkatan pendapatan yang tumbuh 1,99% (yoy) dari Rp92,07 triliun pada kuartal III-2021 menjadi Rp93,91 triliun.
Baca Juga: Digitalisasi Jadi Kunci Hambatan Akses Pasar Pelaku UMKM
Sayang peningkatan pendapatan GGRM gagal diimbangi oleh beban usaha dan biaya penjualan yang membengkak. Beban usaha perseroan menanjak 7,50% (yoy) menjadi Rp5,73 triliun.
Sementara beban pokok penjualan meningkat 5,58% (yoy) menjadi Rp86,23 triliun yang utamanya disumbang kenaikan pos pita cukai, PPN, dan pajak rokok dengan peningkatan 5,94% (yoy) menjadi Rp74,34 triliun
Situasi serupa juga dialami oleh Sampoerna. Presiden Direktur HMSP Vassilis Gkatzelis mengatakan, menurunnya performa perseroan adalah imbas kenaikan cukai rokok yang tinggi dan jauh di atas angka inflasi.
“Kami tidak dapat meneruskan sepenuhnya beban cukai yang meningkat kepada konsumen,” ungkap Vassilis.
Laba Sampoerna tercatat melorot 11,7% (yoy) menjadi Rp4,9 triliun pada kuartal III-2022. Seperti Gudang Garam, Sampoerna juga sejatinya mencatatkan peningkatan pendapatan 15% (yoy) menjadi Rp72,52 triliun namun profitabilitasnya tergerus. Pasalnya, beban perusahaan tercatat melonjak tinggi.
Baca Juga: Ada Ancaman Resesi di Tahun Depan, Petani Tembakau Minta Cukai Rokok Tak Naik Lagi
Pada kuartal III-2022, beban pokok perseroan naik 18,58% (yoy) menjadi Rp70,98 triliun, sedangkan beban umum terkatrol 22,46% (yoy) menjadi Rp1,69 triliun.
Sementara beban penjualan meningkat 0,4% (yoy) menjadi Rp4,71 triliun, yang utamanya juga didorong kenaikan pos pita cukai yang terkerek 23,89% (yoy) dari Rp40,63 triliun pada kuartal III-2021 menjadi Rp50,34 triliun pada kuartal III-2022.
Besarnya beban emiten-emiten rokok besar ini juga diakibatkan makin lebarnya selisih tarif cukai antargolongan, terutama di segmen golongan II yang mencapai 40% dengan golongan I. Dalam situasi daya beli yang melemah, para perokok dewasa akhirnya memiliki preferensi untuk beralih kepada produk rokok yang lebih murah.
Saat ini, pabrikan Golongan I merupakan salah satu kontributor utama penerimaan negara. Hingga Juli 2022, pangsa pasar rokok Golongan 1 mencapai 61% dari total industri rokok di Indonesia.
Hal ini diamini Direktur Gudang Garam Heru Budiman. Ia mengatakan, naiknya cukai tidak diikuti dengan kenaikan harga rokok. Pasalnya, produsen rokok itu masih menguatirkan daya beli masyarakat.
"Cukai itu kalau kami langsung teruskan ke konsumen, maka profit tidak akan turun. Tetapi, di sisi konsumen, ini akan mengakibatkan perokok mencari rokok yang harganya lebih murah atau downtrading," ujarnya baru-baru ini.