Suara.com - Harga minyak dunia merosot pada perdagangan hari Senin, di tengah ekspektasi produksi Amerika bakal naik, data ekonomi yang lebih lemah dari China, serta pembatasan Covid-19 di negara itu membebani permintaan.
Mengutip CNBC, Selasa (1/11/2022) minyak mentah berjangka Brent, patokan internasional, ditutup turun 94 sen, atau 0,98 persen menjadi USD94,83 per barel.
Sementara itu, patokan Amerika Serikat, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI), menyusut USD1,37 atau 1,6 persen menjadi USD86,53 per barel.
Kedua tolok ukur itu mencatat kenaikan bulanan pertama sejak Mei.
Produksi minyak di Amerika Serikat naik menjadi hampir 12 juta barel per hari pada Agustus, level tertinggi sejak awal pandemi Covid-19, menurut data bulanan pemerintah.
Presiden AS Joe Biden akan meminta perusahaan minyak dan gas untuk menginvestasikan sebagian dari rekor keuntungan mereka dalam menurunkan biaya bagi keluarga Amerika, kata seorang pejabat Gedung Putih.
Biden akan meminta Kongres untuk mempertimbangkan mewajibkan perusahaan minyak membayar denda pajak dan menghadapi pembatasan lainnya, kata pejabat itu. Presiden sebelumnya mendorong perusahaan minyak guna meningkatkan produksi daripada menggunakan keuntungan untuk buyback saham dan membagikan dividen.
Pemerintah juga mengandalkan pelepasan pasokan dari Strategic Petroleum Reserves (SPR) untuk meredakan krisis pasokan. Sekitar 1,9 juta barel dilepaskan dari SPR pekan lalu sebagai bagian dari rencana pemerintah menggelontorkan 180 juta barel.
Sementara itu, aktivitas pabrik di China, importir minyak mentah terbesar dunia, turun tak terduga pada Oktober, menurut survei resmi, Senin, terbebani melemahnya permintaan global dan pembatasan ketat Covid-19 yang memukul produksi.
Baca Juga: Harga Minyak Dunia Bangkit Usai Arab Saudi Mengkhawatirkan Kondisi Pasokan
"Kontraksi data purchasing managers' index (PMI) menambah kesedihan pasca pesta kongres China bagi pasar minyak. Tidak sulit untuk menarik garis lurus dari PMI yang lebih lemah ke kebijakan nol Covid China," kata Stephen Innes, Managing Partner SPI Asset Management.