Suara.com - Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada akhir pekan ini ditutup menguat. Rupiah menguat 13 poin atau 0,08 persen ke posisi Rp15.554 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya Rp15.567 per dolar AS.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, mengatakan tanda-tanda ketahanan dalam ekonomi memberi Federal Reserve lebih banyak ruang untuk terus menaikkan suku bunga pada klip yang tajam, menjelang rilis data inflasi utama dan Bank of Japan pada hari Jumat mempertahankan suku bunga ultra-rendah dan sikap dovish.
"Dengan pemikiran ini, para pedagang akan fokus pada rilis indeks harga PCE inti, pengukur inflasi favorit The Fed, nanti di sesi untuk petunjuk niat pembuat kebijakan bank sentral pada pertemuan penetapan kebijakan minggu depan," papar Ibrahim dalam analisanya.
Sementara itu ekonomi Amerika Serikat (AS) belakangan memang di proyeksi bakal resesi. Diketahui bahwa negeri Paman Sam ini sudah tertekan pasca perang Rusia-Ukraina meletus. Padahal negara-negara di dunia sudah was was jika negara dengan ekonomi terbesar ini jatuh ke jurang resesi.
Baca Juga: Suku Bunga BI Naik Lagi, Daya Beli Masyarakat Ambruk hingga Potensi Kredit Macet Meningkat
"Risiko resesi di Amerika Serikat (AS) memang sudah lama dikhawatirkan karena memiliki dampak berkelanjutan bagi ekonomi global. Resesi AS juga bisa mempengaruhi perekonomian nasional, karena negeri Pam Sam ini merupakan mitra dagang utama Indonesia," kata Ibrahim.
"Tadi malam waktu Indonesia, AS telah melaporkan pertumbuhan ekonominya pada Kuartal Ketiga 2022 ini yang ternyata berada di luar ekspektasi atau tumbuh 2,6%. Tentu saja, ini menandakan ekonomi Paman Sam telah pulih dari kontraksi ekonomi yang terjadi pada paruh pertama tahun ini," tambah Ibrahim.
Menurutnya membaiknya ekonomi AS memberikan gambaran bahwa resesi global kemungkinan hanya angin lalu dan akan memberikan dampak positif terhadap perekonomian negara-negara emerging market termasuk Indonesia.
"Oleh karena itu, ketakutan yang berlebihan membuat semua negara melakukan pengetatan terhadap suku bunga acuannya, yang bertujuan untuk memperkuat pondasi perekonomiannya," pungkasnya.