Faisal Basri: Kebijakan Stop Ekspor CPO adalah Kebijakan Terburuk

Selasa, 25 Oktober 2022 | 19:44 WIB
Faisal Basri: Kebijakan Stop Ekspor CPO adalah Kebijakan Terburuk
Ekonom Senior Faisal Basri [YouTube]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Ekonomi senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri menilai, kebijakan menyetop ekspor crude palm oil (CPO) beberapa waktu lalu adalah kebijakan terburuk sepanjang masa karena merugikan semua pihak.

Lantaran kebijakan tersebut, harga minyak goreng beberapa waktu lalu menjadi sangat mahal dan tidak terkendali.

Ia mengatakan, masalah kelangkaan minyak goreng yang terjadi beberapa waktu lalu tak terlepas dari larangan pemerintah mengekspor CPO dan turunannya. Dia menilai, kebijakan tersebut yang terburuk sepanjang masa.

"Sebobrok-bobroknya pemerintah pasti bikin kebijakan ada yang diuntungkan ada yang dirugikan, ini nggak ada. Dirugikan semua. Pemerintah rugi, pengusaha dirugikan, rakyatnya dirugikan, dan petaninya dirugikan," ujar Faisal dalam keterangan persnya di Jakarta Selasa (25/10/2022).

Baca Juga: Harga CPO Kembali Melesat Pekan Ini, Apa Sebab?

Asal tahu saja, Faisal menjadi salah satu saksi ahli penggugat dalam sidang gugatan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan mantan Mendag Muhammad Lutfi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur.

Faisal mengatakan, seharusnya pemerintah dalam menentukan kebijakan berdasarkan analisis dampaknya.

“Jadi sebelum mengambil kebijakan kan bisa dihitung, dampaknya siapa yang diuntungkan dan dirugikan bisa dihitung,” tegas Faisal.

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menambahkan, permasalahan stabilitas harga dan pasokan minyak goreng bersumber sekurang-kurangnya dari tiga hal. Pertama, masalah tata niaga terutama pada saat menghadapi kenaikan harga CPO di pasar internasional.

Menurutnya, pemerintah dalam berbagai argumentasi sering menyalahkan kenaikan harga CPO di tingkat internasional sebagai penyebab terjadinya kelangkaan dan naiknya harga minyak goreng domestik. Kondisi itu justru menunjukkan adanya masalah pada tata niaga yang terlihat pada saat harga CPO di pasar internasional sedang tinggi.

Baca Juga: India Bangun Mega Proyek Lahan Kelapa Sawit Jutaan Hektar, Segera Saingi Indonesia?

Saat ini harga CPO internasional telah mengalami penurunan sebesar 22,1 persen (tradingeconomics per 18 Oktober 2022) yang mengakibatkan harga minyak goreng di pasar turun.

“Pertanyaannya jika harga CPO di pasar internasional kembali naik secara signifikan, maka risiko masalah krisis minyak goreng bisa berulang,” ujar Bhima.

Kedua, ketidakmampuan pengambil kebijakan dalam mengendalikan pasokan CPO untuk pemenuhan kebutuhan di dalam negeri. Indonesia sebagai produsen sawit terbesar—pada 2021 produksi CPO sebesar 46,8 juta ton—kebutuhan dalam negeri hanya mencapai 6-7 juta ton atau 14,9 persen dari total produksi.

Idealnya, kebutuhan dalam negeri yang relatif kecil mampu diatur oleh Kementerian Perdagangan.

“Ketika harga CPO di pasar internasional naik tinggi, Kementerian Perdagangan tidak melakukan upaya serius dalam menjaga ketersediaan pasokan CPO khususnya untuk industri minyak goreng,” ujar Bhima.

Selanjutnya ketiga, tidak tersedianya data produksi dan konsumsi minyak goreng yang akurat. Tidak adanya akurasi data dalam mengurai sumbatan pada rantai pasok minyak goreng menimbulkan kebijakan yang tidak tepat sasaran.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI