Suara.com - Pemerintah menyatakan kebutuhan dana untuk mencapai target nol emisi karbon atau net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat harus melibatkan para pemangku kepentingan. Besaran dana yang dibutuhkan atau disiapkan untuk mencapai target penggunaan energi bersih itu harus berdasarkan konsensus, bukan perhitungan pemerintah semata.
"Jadi bukan hanya konsensus satu pemerintahan saja, apalagi hanya kemudian ditanya pemerintah menyiapkan budget-nya berapa? Itu pertanyaan yang terlalu sempit," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu, dalam Tempo Energy Day hari ketiga sesi I bertajuk Pembiayaan Produk Energi Bersih.
Menurut Febrio, pemahaman memenuhi kebutuhan dana untuk meralisasikan NZE perlu sama-sama dibentuk karena kekhawatiran dampak perubahan iklim sangat besar. Risiko yang sama juga dihadapi banyak negara lain, tidak hanya Indonesia.
Dampak perubahan iklim kini sudah dirasakan dari munculnya fenomena heat wave di berbagai belahan dunia, termasuk negara-negara maju dan berkembang.
Baca Juga: ASDP Akselerasi Program Penanaman Mangrove untuk Tekan Emisi Karbon
"Saat ini Indonesia merupakan salah satu negara dengan risiko climate change paling besar. Sebagai negara kepulauan dengan 17 ribu pulau, kenaikan suhu permukaan bumi berdampak negatif bagi masyarakat, curah hujan, panen, dan bagi perekonomian Indonesia," ujar Febrio.
Dalam rencana aksi penurunan emisi karbon, kata Febrio, target NZE pada 2030 dinaikkan menjadi 31,9 persen yang menyasar dua sektor utama. Kedua sektor tersebut adalah, kehutanan dengan target pengurangan 500 juta ton emisi karbon dan sektor energi dan transportasi sebesar 358 juta ton.
“Dua sektor ini saja sudah mencapai lebih dari 97 persen dari target,” tuturnya.
Selama ini emisi karbon terbesar berasal berasal dari kelistrikan sebanyak 62 persen disumbang dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) atau pembangkit batu bara. Untuk itu diperlukan upaya untuk mengurangoi penggunaan PLTU diiringi dengan pembiayaan kompensasi dari masa operasi yang berkurang.
“Kalau pembangkit sisa (operasi) 25 tahun, kami tawarkan pembiayaan yang lebih murah untuk working kapital berapa tahun dia bisa memotong masa operasinya,” kata Febrio.
Baca Juga: Pertamina Raih Peringkat 2 Rating ESG Dunia
Wakil Direktur Utama PT Bank Mandiri, Alexandra Askandar, mengakui terjadi peningkatan pembiyaan hijau. Dia mengungkapkan untuk mengejar target sebesar 31,9 persen penurunan emisi pada 2030 butuh sekitar US$ 381 miliar atau Rp 4.000 triliun.
“Itu angka yang sangat besar,” ujarnya.
Alexandra melihat prospek pembiayaan hijau akan bagus seiring dengan meningkatknya inisiatif dari berbagai kementerian, investor, lembaga keuangan dan pelaku usaha.
Bank Mandiri, kata dia, telah menyalurkan portofolio berkelanjutan sebesar Rp226 triliun selama semester pertama tahun ini. Adapun portofolio hijau yang sudah tersalurkan sebesar Rp105 triliun atau 11,8 persen dari total portofolio kredit perseroan.
Pembiayaan hijau yang dikucurkan untuk sektor perkebunan berkelanjutan, seperti sawit yang sudah tersertifikasi. Sektor lain adalah untuk energi baru terbarukan seperti hydropower, geothermal, power plant dan clean transportation untuk infrastruktur MRT.
“Termasuk ekosistem kendaraan listrik dan bahan baku baterai dan komponen kendaraan listrik,” kata Alexandra.
Adapun Direktur Utama PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), Edwin Syahruzad, mengatakan perseroan telah membukukan pembiayaan sektor energi terbarukan dan transportasi sebesar Rp 16,8 triliun pada 2022. Total nilai proyeknya mencapai Rp 90,8 triliun. Pembiyaan tersebut untuk berbagai proyek pembangkit listrik energi baru terbarukan hingga proyek transportasi bersih seperti light rail transit.
“Jadi ruang lingkupnya terbatas pada infrastruktur. Jadi kami tentunya tidak eligible untuk membiayai katakanlah sektor kehutanan, padahal itu paling hijau," kata Edwin dalam acara yang sama.
SMI akan bekerjasama dengan World Bank dan Global Climate Fund untuk pembiayaan hijau sektor energi. Kedua lembaga itu akan berperan sebagai penyedia dana.
Sedangkan untuk sektor infrastruktur hijau, Edwin mengatakan, SMI juga memiliki program dengan Asian Development Bank (ADB), Green Infrastructure Investment and Finance. Program ini didedikasikan sebagai upaya mendukung pembiayaan berkelanjutan.
Salah bank yang turut mendorong pembiayaan hijau di Tanah Air adalah PT Bank HSBC Indonesia. Salah satu strategi yang mereka kedepankan untuk memperbesar portofolio pembiayaan hijau atau green financing adalah dengan membantu para nasabahnya beralih ke sektor ekonomi hijau.
Commercial Banking Director HSBC Indonesia Eri Budiono, mengatakan pembiayaan hijau, termasuk di Indonesia, kini terus berkembang. Biaya untuk merealisasikan nol emisi karbon masih sangat besar sehingga membutuhkan dukungan berbagai lembaga keuangan.
"Dan seperi yang sudah disampaikan tadi memang Indonesia butuh pendanaan yang cukup besar untuk memenuhi NDC (Nationally Determined Contribution), kami diperkirakan sekitar US$ 150-226 miliar per tahun," kata Eri.
Untuk membantu merealisasikan target penurunan emisi karbon, HSBC telah mengambil peran sebagai pengalokasi modal. HSBC, kata Eri, bisa berperan mencarikan modal di seluruh dunia yang kini lebih tertarik pada aset-aset dan proyek hijau.
Selain itu, HSBC kini menurutnya juga tengah mengambil peranan mendukung bauran pendanaan atau blended finance. Salah satu skema yang telah dibentuk bernama Pentagreen Capital, dengan kerja sama HSBC Holdings PLC dengan Temasek, ADB dan Clifford Capital Holdings.
Melalui skema itu, kekuatan ekuitas yang telah terkumpul senilai US$ 150 juta. Dana yang akan terus dikembangkan nantinya dimanfaaatkan untuk pembiayaan proyek-proyek infrastruktur berkelanjutan atau infrastruktur di berbagai negara.