Dampak Kenaikan Suku Bunga Acuan BI 50 Bps Terhadap Kredit dan Bunga Pinjaman

M Nurhadi Suara.Com
Jum'at, 21 Oktober 2022 | 14:43 WIB
Dampak Kenaikan Suku Bunga Acuan BI 50 Bps Terhadap Kredit dan Bunga Pinjaman
Kantor Pusat Bank Indonesia di Jakarta Pusat, Senin (29/5/2017). [Suara.com/Adhitya Himawan]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Bank Indonesia kembali menaikkan BI 7-day Reverse Repo Rate (DRRR) atau suku bunga acuan ke angka 50 basis poin (bps) menjadi 4,75% Kamis (20/10/2022) kemarin. Dampak suku bunga yang naik 50 Bps ini akan berpengaruh signifikan terhadap konsumsi rumah tangga.

Kenaikan ini sekaligus menjadi yang ketiga setalah BI dua kali berturut-turut mengerek suku bunga acuan sejak Agustus lalu sebesar 25 bps dan 50 bps per September 2022. Dengan demikian, total kenaikan suku bunga acuan sepanjang 2022 ini adalah 125 bps. 

Dampak suku bunga acuan yang naik diharapkan mampu memperkuat kurs rupiah terhadap dolar. Saat ini rupiah masih bertengger di angka Rp15.600 per dolar Amerika.

Sayangnya, dampak negatif bakal dirasakan pelaku industri perbankan lantaran bunga pinjaman di bank akan meroket. Kondisi ini membuat para pelaku usaha akan berpikir dua kali untuk mengambil kredit. Pembayaran bunga dan cicilan modal usaha yang kadung diambil pun tampaknya harus direstrukturisasi. 

Baca Juga: Suku Bunga BI Naik Lagi, Daya Beli Masyarakat Ambruk hingga Potensi Kredit Macet Meningkat

Di tingkat rumah tangga, harga kebutuhan pokok akan meningkat bersamaan dengan naiknya harga BBM dan konsumsi energi lainnya. Selain itu, tingkat pembelian rumah dengan sistem kredit perumahan rakyat (KPR) dan cicilan motor juga diprediksi turun. 

Melansir situs resmi Bank Indonesia, Gubernur BI, Perry Warjiyo menyatakan keputusan kenaikan suku bunga tersebut sebagai langkah untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang saat ini terlalu tinggi (overshooting) dan memastikan inflasi inti ke depan kembali ke dalam sasaran 3,0±1% lebih awal yaitu ke paruh pertama 2023, serta memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya akibat semakin kuatnya mata uang dolar AS dan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.

Pertumbuhan ekonomi global kini melambat disertai dengan tekanan inflasi yang tinggi dan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global. Setelah membaik di 2022, pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2023 diprakirakan akan lebih rendah dari sebelumnya, bahkan disertai dengan risiko resesi di beberapa negara. Revisi ke bawah pertumbuhan ekonomi terjadi di sejumlah negara maju terutama Amerika Serikat (AS) dan Eropa, dan juga di Tiongkok. 

Perlambatan ekonomi global dipengaruhi oleh berlanjutnya ketegangan geopolitik yang memicu fragmentasi ekonomi, perdagangan dan investasi, serta dampak pengetatan kebijakan moneter yang agresif. Dampak rambatan dari fragmentasi ekonomi global diprakirakan juga akan menyebabkan perlambatan ekonomi di Emerging Markets (EMEs). 

Sementara itu, tekanan inflasi dan inflasi inti global masih tinggi seiring dengan berlanjutnya gangguan rantai pasokan sehingga mendorong bank sentral di banyak negara menempuh kebijakan moneter yang lebih agresif.

Baca Juga: BI Kerek Suku Bunga, Mata Uang Rupiah Ambruk ke Level Rp15.571

Kenaikan Fed Funds Rate yang diprakirakan lebih tinggi dengan siklus yang lebih panjang (higher for longer) mendorong semakin kuatnya mata uang dolar AS sehingga memberikan tekanan pelemahan atau depresiasi terhadap nilai tukar di berbagai negara, termasuk Indonesia. 

Kontributor : Nadia Lutfiana Mawarni

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI