Suara.com - Kabar Mie Sedaap yang ditarik dari sejumlah negara akibat kandungan zat kimia berbahaya jadi sorotan. Pasalnya, merujuk data World Instan Noodles Association (WINA) pada tahun 2021, Indonesia adalah negara konsumen mie instan terbesar kedua dunia dengan konsumsi pada 2021 mencapai 13,27 miliar bungkus, atau 11,2 persen dari konsumsi mi instan dunia.
Sedangkan produksi mi instan dalam negeri di tahun 2021 mencapai 1,2 juta ton dengan volume ekspor sebesar 153 ribu ton atau senilai 246 juta dolar AS.
Menanggapi hal ini, Kemenperin RI tegaskan, produk Mie Sedaap asal Indonesia sama seperti produk konsumsi lainnya yang menyesuaikan standar pangan. Hal serupa juga diterapkan untuk produk ekspor.
“Tentunya perusahaan dalam melakukan ekspor makanan ke luar negeri harus mengetahui regulasi yang diterapkan oleh negara tujuan ekspor tersebut, serta memenuhi standar mutu dan keamanan pangan yang dipersyaratkan,” kata Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika pada Jumat (21/10/2022).
Baca Juga: PT Konimex Akan Tarik Produk Termorex Sirup dari Pasaran, Sesuai Edaran Kemenkes
Putu mengatakan, terkait produk Wings Group Indonesia yang ditarik dari pasar Hong Kong, Taiwan dan Singapura, pihaknya menegaskan, sudah melakukan langkah-langkah mitigasi.
Diantaranya, memperkuat Indonesia Rapid Alert System for Food and Feed (Inrasff) working group dari para pemangku kepentingan terkait.
Perwakilan stakeholders itu misalnya dari BPOM (selaku National Contact Point), Kemenperin, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kesehatan, serta Kementerian Keuangan.
“Inrasff merupakan sistem komunikasi yang cepat untuk menindaklanjuti notifikasi terhadap permasalahan produk ekspor maupun impor,” kata dia kepada Antara.
Ia menambahkan, perlu dikembangkan metode pengujian residu Etilen Oksida pada produk pangan. Saat ini, di Indonesia, pengujian residu tersebut baru bisa dilakukan oleh laboratorium BPOM.
Baca Juga: Produk Mie Sedaap Ditarik dari 3 Negara, Ini Langkah Kementerian Perindustrian
Sementara itu, Prof Purwiyatno Hariyadi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) mengemukakan, regulasi tentang Etilen Oksida di berbagai negara di dunia penerapannya beragam, terdapat negara yang melarang penggunaannya, namun ada juga yang masih memperbolehkan penggunaannya.
“Indonesia termasuk negara yang melarang penggunaan Etilen Oksida untuk pestisida/zat aktif pestisida dan bahan pangan (fumigasi), namun masih menggunakannya untuk sterilisasi alat-alat kesehatan,” terangnya.
Dengan adanya regulasi yang beragam tersebut, maka batas maksimum residu (BMR) pada pangan juga berbeda-beda di masing-masing negara. Salah satu wilayah yang menerapkan regulasi BMR paling ketat adalah Uni Eropa.
“Terdapat pula berapa negara belum menetapkan BMR, sehingga BMR yang ditetapkan masing-masing negara berbeda, yaitu ada yang menetapkan 0.01 ppm atau bahkan ada yang mempersyaratkan tidak terdeksi. Saat ini organisasi internasional di bawah WHO/FAO, yaitu Codex Alimentarius Commission belum mengatur batas maksimal residu Etilen Oksida,” pungkas Purwiyatno.