Kampanyekan Gerakan Slow Fashion Sekaligus Berdayakan Pekerja Informal dan UKM untuk Masa Depan yang Berkelanjutan

Iwan Supriyatna Suara.Com
Rabu, 19 Oktober 2022 | 06:39 WIB
Kampanyekan Gerakan Slow Fashion Sekaligus Berdayakan Pekerja Informal dan UKM untuk Masa Depan yang Berkelanjutan
Ilustrasi Batik Lokal.
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Hampir tiga tahun, pandemi Covid-19 melanda dunia, wabah mematikan yang menghantam hampir semua sektor perekonomian, dari skala besar hingga kecil ke mikro.

Direktur Pelaksana Pengembangan Kebijakan dan Kemitraan Bank Dunia Mari Elka Pangestu memaparkan, pekerja yang paling terdampak pandemi banyak berasal dari sektor jasa dan konstruksi.

Tak terkecuali, sektor informal seperti tekstil. Sekitar jutaan penjahit di Indonesia kehilangan pekerjaan hingga megapmegap memburu peluang di tengah situasi pandemi yang sulit demi bertahan hidup.

Senada dengan temuan Bank Dunia, Kementerian Perindustrian tahun 2020 pun mencatat, industri garmen mengalami penurunan jumlah produksi yang berimbas pada turunnya tingkat utilisasi industri garmen, dari 84,93 persen ke 65,00 persen.

Baca Juga: Toko Bahan Kaos Karunia Textile Dukung Pemulihan UMKM Konveksi dan Sablon Pasca Pandemi

Ini disebabkan kelangkaan dan mahalnya harga bahan baku, merosotnya jumlah permintaan, hingga kesulitan distribusi akibat pembatasan mobilitas, yang berujung pada terhentinya aktivitas industri. Akibatnya, Asosiasi Pertekstilan Indonesia melaporkan, sebanyak 1,8 juta tenaga kerja dari sektor tekstil dirumahkan dan di-PHK.

Sampai hari ini, sebagian besar UKM bahkan masih “tidur pulas” alias gulung tikar. Tak cuma di kotakota kecil, bahkan di kota-kota besar sekalipun kondisinya tak kalah suram.

Sekelas Bali yang merupakan episentrum andalan Indonesia untuk wisatawan domestik dan mancanegara mencatat kehilangan potensi ekonomi hingga 90 persen.

"Situasi ini sangat memprihatinkan. Ini salah satu alasan kami menggagas Our Reworked World, yaitu gerakan untuk membantu para pekerja informal, khususnya para penjahit, serta UKM yang terimbas dan kehilangan pendapatan. Gerakan ini juga merupakan upaya kami dalam menggencarkan kampanye slow fashion yang bertujuan mengurangi limbah tekstil dan menyelamatkan bumi untuk masa depan yang berkelanjutan," tutur Annika Rachmat, Co-founder, Our Reworked World.

Sebagaimana diketahui, slow fashion merupakan antitesis dari fast fashion, yang mana lebih mengutamakan kualitas produk dan usia pemakaian yang lebih lama.

Baca Juga: Harga Bahan Pokok Masih Tinggi, UKM Sahabat Sandi Gelar Bazar Sembako Bagi Warga Jakarta

Meski relatif lebih mahal, namun, secara etika dan kualitas produk, slow fashion jauh lebih unggul dan ramah lingkungan ketimbang fast fashion. Pasalnya, dalam beberapa laporan akhir-akhir ini, sejumlah isu sosial dan lingkungan akibat tren fast fashion mencuat di tingkat global dan kian mengkhawatirkan, termasuk masalah limbah tekstil, polusi udara karena pembakaran pakaian bekas, dan yang terburuk adalah, eksploitasi anak-anak menjadi pekerja berupah rendah.

"Limbah tekstil adalah pencemar air kedua terburuk di dunia setelah limbah industri. Menurut data kami, dari total 200 miliar potong pakaian yang diproduksi setiap tahun, 85 persen di antaranya berakhir di tempat sampah," papar Annika.

"Tak terkecuali, Indonesia, yang juga membutuhkan perhatian lebih pada isu ini. Kami mencatat, dari sekitar 33 juta ton pakaian yang diproduksi, hampir satu juta di antaranya menjadi limbah tekstil tiap tahun."

Inilah yang mendorong Annika bersama rekan lainnya yaitu Nicole Chu dan Britney Halim di awal pandemi tahun 2020 mulai mengumpulkan dan mengurasi pakaian pakaian bekas atau sudah tak terpakai dari berbagai sumber dan donatur. Lalu, mereka menentukan ide serta pola yang cocok untuk tiap potong pakaian.

"Kami memberdayakan para penjahit lokal untuk mengerjakan ulang pakaian pakaian yang tidak terpakai. Setelah ditentukan, para penjahit akan mengerjakannya. Setelah kami nilai sangat layak pakai, kami lantas memasarkan pakaian-pakaian tersebut via Akun Instagram @4urclosetID dan website OurReworkedWorld.com/shop. Apabila ada baju yang terjual, kami serahkan 100 persen keuntungannya untuk mereka," jelas Annika.

Selanjutnya, sejak tahun 2021, Our Reworked World menggandeng UKM dari Bali dan Klaten untuk pengerjaan ke sejumlah fabrik lain, seperti tas jinjing dua sisi (reversible tote bag), tas (bag), tas ransel (backpack), kantong (pouch), hingga “Travel Cube” yang kesemuanya diproduksi melalui proses alami tanpa kimia dan energi fosil.

"Untuk pouch dan ‘Travel Cube,’ kami juga merangkul Gerakan Kepedulian (GK) Indonesia; yakni organisasi nirlaba dengan misi membina keluarga berbudaya, produktif, dan mandiri agar menjadi masa depan Indonesia."

Our Reworked World mengklaim, setidaknya 95 persen dari 277 produk thrift yang dipajang telah laku terjual, di mana seluruh hasilnya pun telah diteruskan pada mitra penjahit dan beberapa mitra nirlaba di Indonesia.

"Ini bukan hanya tentang kemanusiaan, tetapi apresiasi atas kontribusi mereka yang sangat signifikan untuk masa depan yang berkelanjutan. Karena, dengan cara ini, mereka juga telah mengurangi limbah tekstil berkat slow fashion," kata Annika.

Ke depan, Annika dan kawan-kawan akan meningkatkan kerja sama dengan lebih banyak penjahit dan penenun dari seluruh pelosok nusantara. Di samping itu, juga berencana untuk membuka cabang di negara lain dengan menggandeng anak-anak muda setempat yang memiliki kepedulian yang sama akan slow fashion dan kesinambungan.

"Kami sangat berharap Our Reworked World dan gerakan-gerakan serupa kami ini tidak berhenti seiring pandemi mereda. Selama dua tahun ini, gerakan kami justru membesar. Saya yakin apabila kampanye slow fashion digaungkan bersama-sama, melibatkan semua pemangku kepentingan, maka masa depan manusia yang berkesinambungan bisa kita capai," pungkas Annika.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI