Suara.com - Untuk mengatasi persoalan kelangkaan minyak goreng di Tanah Air, pemerintah seringkali melakukan perubahan kebijakan yang mengakibatkan banyak pihak yang dirugikan. Puncaknya terjadi dugaan korupsi pengurusan izin ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO).
Akademisi Universitas Al- Azhar Indonesia Dr. Sadino mengatakan kebijakan yang berubah-ubah jelas merugikan banyak pihak, terutama pelaku usaha. Untuk melaksanakan kebijakan atau aturan baru, pelaku usaha perlu waktu untuk melakukan persiapan.
“Pelaku usaha perlu waktu dan strategi untuk melaksanakan kebijakan baru yang ditetapkan. Dengan adanya kebijakan yang berubah-ubah, dari pertama penerapan DMO-DPO kemudian melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan kemudian diubah kembali menjadi melarang ekspor CPO dan seluruh produk turunannya, jelas ini mercerminkan adanya ketidakkepastian hukum kepada para pelaku usaha,” kata Sadino dalam keterangan persnya di Jakarta, Selasa, (18/10/22).
Dengan hilangnya kepercayaan dari investor ini tentu saja akan membuat pemilik modal tidak mau menanamkan investasinya ke Indonesia. Akan berdampak lebih besar, seperti melesetnya target investasi dan lainnya.
Baca Juga: Lewat Program Figur Inspiratif Lokal, BRI Ajak Pelaku Usaha Terus Tumbuh
Kerugian lain juga dialami para petani atau pekebun kelapa sawit. Aturan yang berubah-ubah ini sudah berdampak besar ke mereka, yaitu penurunan harga kelapa sawit.
"Kerugian terbesar diderita oleh petani sawit di saat harga sedang bagus-bagusnya. Bukannya menikmati harga tinggi malah mendapatkan penurunan harga TBS nya, 10-30 persen," jelas dia.
Sadino menambahkan, kebijakan yang tidak konsisten tersebut bahkan membuat pelaku usaha menjadi terdakwa dugaan korupsi minyak goreng (migor).
"Mereka menjadi korban dari tidak konsistennya kebijakan yang ada," ujarnya.
Sadino justru menilai, Peraturan Kemendag soal Harga Eceran Tertinggi (HET) sebagai penyebab kelangkaan minyak goreng di dalam negeri. Menurutnya, penetapan HET minyak goreng Rp 14.000 per liter, tidak mengikuti harga minyak sawit mentah internasional (Crude Palm Oil/CPO) yang sudah naik.
Baca Juga: Kasus Ekspor CPO Buat Negara Kucurkan BLT Minyak Goreng Rp6,1 Triliun
"Dengan patokan harga itu, produsen kesulitan untuk menjual produknya. Sebab akan mengalami kerugian yang sangat besar," jelasnya.
Akibatnya, pasokan minyak goreng di pasaran menurun hingga menimbulkan kelangkaan. Sementara barang yang sudah diproduksi produsen, tidak berani dijual di atas harga pasar.
Berawal dari sini, Kemendag mulai membuat serangkaian kebijakan. Hingga akhirnya produsen minyak goreng diwajibkan mengalokasikan 20% produksinya untuk kebutuhan dalam negeri, lewat kebijakan domestic market obligation (DMO), melalui Permendag Nomor 8 Tahun 2022.
“Regulasi ini meminta para pelaku usaha untuk melakukan subsidi minyak goreng. Pelaku usaha yang hendak ekspor diwajibkan untuk menenuhi DMO sebesar 20 persen ke dalam negeri sebelum melakukan ekspor,” ujarnya.
Ia berpendapat, larangan ekspor akan menghambat pertumbuhan ekonomi, pemulihan krisis dan merugikan perekonomian negara khususnya devisa yang hilang akibat larangan ekspor.
“Hambatan dan larangan ekspor akan merugikan bangsa Indonesia. Menghambat pertumbuhan ekonomi, pemulihan krisis dan merugikan perekonomian negara yang diakibatkan dari hilangnya devisa,” tegas Sadino.
Selain itu, lanjut Sadino, kebijakan DMO dan DPO yang berlaku pada produk CPO dan turunannya berpotensi merugikan petani kelapa sawit di tingkat bawah. Jika aturan DMO dan DPO terus berlanjut, dia khawatir petani/pengusaha kelapa sawit enggan menanam sawit dan berhenti produksi untuk sementara waktu.
"Mestinya di saat harga sedang tinggi, pemerintah mendorong ekspor sebesar-besarnya agak petani sejahtera. Bukan seperti sekarang, justru menghambat. Sebuah peluang yang jarang terjadi, malah tidak dimanfaatkan dengan baik,” tegasnya.
Sebelumnya, Analis Perdagangan Direktorat Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting, Ditjen Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan (Kemendag), Indra Wijayanto, dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pengurusan izin ekspor CPO mengatakan kebijakan yang berubah-ubah membuat banyak pihak yang dirugikan.
Menurut Indra, Kemendag kebingungan dalam menyikapi kenaikan harga CPO. Di satu sisi, Indonesia diuntungkan karena nilai ekspor naik, tetapi di sisi lain harga minyak goreng (migor) di dalam negeri ikut melambung.
“Kemendag sebenarnya sudah menemukan harga migor mulai merangkak naik pada Agustus 2021. Pada saat itu, sejumlah regulasi dikeluarkan Kemendag guna mengatasinya,” katanya.
Indra mengatakan, pemerintah telah berusaha keras untuk memastikan ketersediaan harga minyak goreng di pasaran sesuai dengan ketetapan Harga Eceran Tertinggi (HET). Padahal, HET yang ditetapkan jauh selisihnya dari harga keekonomian yang sesungguhnya. Ujungnya, pelaku usaha jadi merugi.
“Pelaku usaha pasti merugi, HET yang ditetapkan jauh selisihnya dari harga keekonomian yang sesungguhnya. Minyak jenis apapun, merk apapun harus dijual dengan harga Rp14 ribu. Di mana, harga keekonomiannya sekitar Rp17.260 sehingga nanti yang akan dibayarkan oleh BPDPKS adalah selisih dari harga keekonomian dikurangi HET," ucap Indra.