Suara.com - Harga minyak dunia diperkirakan bakal terus bergerak fluktuatif di tengah kekhawatiran ancaman resesi akibat inflasi dan biaya energi yang mahal.
Mengutip CNBC, Selasa (18/10/2022), minyak mentah berjangka Brent, patokan internasional, ditutup turun 1 sen, atau 0,01 persen menjadi USD91,62 per barel, pulih dari kejatuhan 6,4 persen minggu lalu.
Sementara itu, patokan Amerika Serikat, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate, berkurang 15 sen, atau 0,2 persen menjadi USD85,46 per barel, setelah pelemahan 7,6 persen pekan lalu.
"Inflasi Amerika tetap menjadi topik utama dan dengan The Fed akan menaikkan suku bunga setidaknya hingga tahun depan, ada kekhawatiran bahwa kehancuran permintaan akan meningkat," kata Dennis Kissler, Vice President BOK Financial.
Baca Juga: Resesi Global Mengancam, BRI Tetap Berkomitmen Dorong Pertumbuhan Ekonomi Nasional
Bank sentral China menggulirkan kebijakan pinjaman jangka menengah, Senin, sambil mempertahankan suku bunga utamanya tidak berubah untuk bulan kedua, dalam sinyal bahwa kebijakan moneter yang longgar akan dipertahankan.
Beijing juga akan meningkatkan kapasitas pasokan energi domestik dan mendorong pengendalian risiko pada komoditas utama termasuk batu bara, minyak, gas, dan listrik, kata pejabat senior Badan Energi Nasional.
Data perdagangan dan PDB kuartal ketiga China, bersama dengan data aktivitas September, akan dirilis Selasa, dengan pertumbuhan kuartalan mungkin rebound dari triwulan sebelumnya tetapi pertumbuhan tahunan berpotensi menjadi yang terburuk di China dalam hampir setengah abad.
Sementara itu, dolar AS yang kuat dan kemungkinan kenaikan suku bunga lebih lanjut oleh Federal Reserve membantu menahan lonjakan harga.
"Inflasi di Amerika Serikat tetap membandel dan pertumbuhan di negara-negara Uni Eropa diperkirakan melemah menjadi 0,5 persen," kata pejabat Dana Moneter Internasional, Gita Gopinath.
Baca Juga: Dirut BRI Tegaskan Komitmen Dorong Pertumbuhan Ekonomi Nasional di Tengah Ancaman Resesi Global
Pasokan minyak kemungkinan akan tetap ketat setelah OPEC dan sekutunya termasuk Rusia sepakat pada 5 Oktober untuk memangkas output sebesar 2 juta barel per hari, sementara perang kata-kata antara pemimpin de facto OPEC, Arab Saudi, dan Amerika Serikat dapat menandakan lebih banyak volatilitas.
"Sudah beberapa minggu terjadi gejolak di pasar minyak dari kekhawatiran pertumbuhan global hingga pengurangan produksi OPEC Plus dan tampaknya mereka belum sepenuhnya tenang," kata Craig Erlam, analis OANDA.