Suara.com - PT Kimia Farma (Persero) Tbk melalui anak usahanya PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia (KFSP) akan mengembangkan dan memproduksi 28 bahan baku obat (BBO) hingga tahun 2024. Hingga saat ini, KFSP baru memproduksi 12 BBO. Rinciannya, 3 BBO anti kolesterol yaitu Simvastatin, Atorvastatin dan Rosuvastatin, 1 BBO anti platelet untuk obat jantung yaitu Clopidogrel, 2 BBO anti virus Entecavir dan Remdesivir, 4 BBO Anti Retroviral (ARV) untuk HIV AIDS yaitu Tenofovir, Lamivudin, Zidovudin dan Efavirenz, 1 BBO untuk diare yaitu Attapulgite, serta 1 BBO untuk antiseptic dan desinfectan yaitu Iodium Povidon.
Direktur Utama PT Kimia Farma Tbk, David Utama menjelaskan, pengembangan 28 BBO dilakukan untuk menekan ketergantungan perusahaan farmasi dalam negeri terhadap impor. Sejauh ini, down stream industri farmasi nasional telah berkembang baik dengan dapat memenuhi 90 persen dari kebutuhan pasar farmasi nasional, tetapi sekitar 90-95 persen BBO yang digunakan masih impor karena up stream yang lemah.
“Ke depan ini kami akan lengkapi dengan 28 API. Sehingga seluruh kebutuhan industri farmasi di Indonesia untuk kebutuhan obat bisa kita penuhi," tutur David dalam Media Gathering di PT Kimia Farma Sunwun Pharmacopia, Cikarang, Jawa Barat, Senin, (3/10/2022).
Menurut David, pengembangan 28 BBO hingga 2024 dapat menurunkan impor sebesar 17-20 persen. Dengan begitu, pemerintah dapat berhemat hingga Rp3,7 triliun.
Baca Juga: Kimia Farma Sebut Stok Vaksin Sinopharm Masih Banyak
Selain untuk menekan impor, langkah ini diambil demi mencapai ketahanan kesehatan nasional. Terlebih, hingga kini Indonesia masih berada dalam era Pandemi Covid-19.
"Dengan pembangungan fasilitas produksi ini, diharapkan kedepannya Indonesia mempunyai ketahanan kesehatan nasional, bukan hanya pada produksi obat, tapi menjamin kebutuhan industri farmasi,” ucap David.
Sementara itu, Direktur Utama KFSP, Pamian Siregar mengatakan, hingga kini, BBO yang diproduksi baru diserap oleh Kimia Farma. Menurutnya, ada beberapa tantangan agar BBO dapat turut diserap oleh perusahaan farmasi lain.
"Salah satu tantangannya addalah proses change source-nya. Waktunya itu cukup lama bisa 1,5-2 tahun," tutur Pamian.
Tantangan lainnya adalah harga BBO yang diproduksi KFSP masih terbilang mahal, jika dibandingkan dengan BBO yang diimpor. Selisihnya bisa mencapai sekitar 25 persen.
Baca Juga: Link Mudik Gratis 2022 Kemenhub, Jasa Raharja dan Kimia Farma, Catat Syarat dan Cara Daftarnya!
Oleh karena itu, dia meminta agar Pemerintah terus mendorong perusahaan-perusahaan farmasi dalam negeri untuk menggunakan bahan baku lokal. Dengan begitu, industri BBO dapat berkembang dengan signifikan.