Suara.com - Koaksi Indonesia bersama Yayasan Indonesia CERAH meluncurkan laporan sintesis dampak krisis iklim di seluruh sektor kunci di Indonesia.
Target dari laporan ini adalah untuk membangun kesadaran publik agar dapat memahami krisis iklim dan dampaknya dengan lebih mudah, serta dapat menjadi referensi bagi media dalam mengembangkan laporan mendalam.
Kesimpulannya sudah jelas: sejumlah riset dalam beberapa tahun belakangan ini menyampaikan hasil yang konsisten bahwa ekonomi Indonesia termasuk yang paling rentan terhadap perubahan iklim.
Rumah tangga berpenghasilan rendah dan kelompok marjinal akan lebih banyak menjadi korban.
Baca Juga: Menuju Zero Emission 2050, Sekolah di Jakarta Ikut Program NetZero
“Melalui publikasi ini, kami hendak menyampaikan bahwa Indonesia masih punya kesempatan untuk melakukan aksi iklim yang lebih ambisius sebelum dampak perubahan iklim makin buruk menimpa sektor sektor strategis di Indonesia, seperti pangan, infrastruktur, ekonomi, dan tenaga kerja.” kata Verena Puspawardani, Direktur Program Koaksi Indonesia.
Sebuah penelitian tahun 2021 menyebut, pada 2050 Indonesia bisa kehilangan 30-40% produk domestik bruto (PDB) jika berada di tingkat emisi sedang hingga tinggi.
Padahal, Indonesia bisa “hanya” kehilangan PDB maksimum 4% jika mampu menjaga suhu jauh di bawah 2°C.
Penelitian tersebut sejalan dengan temuan tahun 2015 yang mengungkapkan bahwa dalam skenario emisi tinggi, PDB Indonesia bisa merosot 31% pada pertengahan abad, dan terjun bebas hingga 78% pada akhir abad (2100).
Ada lagi riset yang menyoroti dampak pemanasan global pada ekonomi Indonesia yang sangat besar kecuali emisi dipangkas sesegera mungkin.
Baca Juga: WEF Menggandeng Cryptocurrency dalam Melawan Perubahan Iklim di Dunia
Diffenbaugh dan Burke tahun 2019 menyebut, “PDB Indonesia per kapita mungkin sudah 15% lebih rendah ketimbang yang bisa tercapai tanpa pemanasan yang disebabkan ulah manusia sejak 1991.”
Pertanian dan Infrastruktur Terdampak
Panas ekstrem merupakan salah satu dampak krisis iklim yang sangat nyata di Indonesia. Hawa panas ini menurunkan hasil panen dan pangan di Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam riset Kinose tahun 2020.
Dalam skenario tinggi emisi, merujuk pada penelitian ini,
Pulau Jawa dan wilayah utara Sumatera akan mengalami penurunan panen beras sampai 20-40% pada 2040.
Penelitian lain tahun 2018 mengatakan, kenaikan suhu berdampak langsung pada penurunan panen kakao di Indonesia. Jika suhu mencapai 27-27,5°C maka hasil panen bakal merosot 67% dan bahkan sering mencapai nol.
Selain kakao, beras dan kopi juga akan terdampak dari kenaikan suhu dan penurunan curah hujan.
“Kompilasi data dan proyeksi dari berbagai laporan ini dapat menjadi basis bagi aksi iklim bersama oleh berbagai pihak, terutama pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil, agar target-target pembangunan Indonesia menuju ekonomi hijau dapat tercapai.” kata Azis Kurniawan, Manajer Riset dan Pengembangan Koaksi Indonesia.
Dampak krisis iklim juga dialami sektor infrastruktur. Riset Stone tahun 2021 menunjukkan, peningkatan hawa panas membuat permintaan pendingin udara lebih besar, artinya menambah beban pada jaringan listrik.
Gangguan pada jaringan listrik penyedia jasa pendinginan saat terjadi gelombang panas dapat menimbulkan korban jiwa. Sejumlah penelitian juga mengungkapkan panas ekstrem akan menurunkan fungsi pembangkit listrik tenaga termal sehingga mengganggu pasokan listrik.
Selanjutnya, mengacu penelitian Dobney tahun 2008, rel kereta bisa melengkung dan rusak jika suhu melampaui rancangannya. Tak hanya itu, riset Smoyer-Tomic dan tim tahun 2003 mengatakan, suhu tinggi bisa menyebabkan jalan-jalan meleleh dan menempel pada ban kendaraan.
Efektivitas pendinginan mesin kendaraan juga akan berkurang dan menambah kemungkinan pecahnya ban, artinya kemungkinan kecelakaan menjadi lebih tinggi.
“Berbagai bukti potensi dampak hawa panas terhadap infrastruktur ini memberikan pertanyaan: apakah perencanaan pembangunan infrastruktur kita sudah dan akan mempertimbangkan potensi dampak krisis iklim? Jika kita memperhitungkan potensi dampaknya, kita sangat dapat melakukan penghematan APBN secara signifikan melalui transisi dari kegiatan ekonomi yang menghasilkan emisi tinggi ke arah ekonomi hijau,” kata
Wira Dillon, periset senior Yayasan Indonesia CERAH.
Dipublikasikannya laporan ini bertepatan dengan rilis dokumen "Enhanced Nationally Determined Contribution Republic Indonesia 2022" hari Jumat (23/9/22). Dokumen NDC terbaru ini menjanjikan peningkatan target penurunan emisi menggunakan sumber daya dan kemampuan sendiri dari 29% menjadi 31,89% serta peningkatan dari 41% menjadi 43,2% bila mendapatkan dukungan internasional.
Tentu saja masih banyak aspek yang perlu ditingkatkan untuk menyelaraskan peningkatan upaya menurunkan emisi yang disampaikan dalam NDC versi terkini dengan pembangunan Indonesia agar selaras dengan skenario perubahan iklim di bawah 1,5°C. Harapannya, laporan ini dapat menjadi referensi bagi aksi iklim yang lebih ambisius di masa mendatang dan terukur pencapaian targetnya.