Suara.com - Harga minyak mentah dunia saat ini mengalami penurunan yang cukup drastis di level USD80 per barel dari sebelumnya yang sempat menyentuh level USD120 per barel.
Turunnya harga minyak mentah dunia ini apakah juga bisa menurunkan harga jual Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri?
Menanggapi hal tersebut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ternyata tak mau buru-buru menurunkan harga BBM. Menurut dia, meski harga minyak mentah dunia turun tapi di sisi lain kurs rupiah mengalami pelemahan yang cukup dalam.
"Sekarang kita lihat harga ICP mungkin turun karena brent dan WTI mengalami penurunan. Namun kurs mengalami pelemahan," kata Sri Mulyani di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (27/9/2022).
Baca Juga: Polisi Imbau Pengamanan Demo Kenaikan BBM Utamakan Sisi Humanis, Demonstran Juga Harus Dilindungi
Harga minyak mentah dunia anjlok USD2 per barel pada perdagangan hari Senin, dengan menetap di posisi terendah sembilan bulan.
Dilansir dari CNBC, Selasa (27/9) minyak mentah berjangka Brent untuk kontrak pengiriman November, patokan internasional, ditutup merosot USD2,09, atau 2,4 persen menjadi USD84,06 per barel, jatuh di bawah level yang dicapai pada 14 Januari.
Sementara itu, patokan Amerika Serikat, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman November, melorot USD2,06, atau 2,3 persen menjadi USD76,71 per barel, terendah sejak 6 Januari.
Kedua kontrak melesat di awal sesi setelah jatuh sekitar 5 persen pada penutupan Jumat.
Indeks Dolar (Indeks DXY) mencapai level tertinggi dua dekade, menekan permintaan minyak yang dihargai dalam mata uang AS itu. Dampak dolar yang kuat pada harga minyak paling menonjol dalam lebih dari setahun, data Refinitiv Eikon menunjukkan.
Baca Juga: Nikita Mirzani Minta Jokowi Naikkan BBM Jadi Rp1 Juta/Liter, Publik: Akhirnya Banyak Orang Stres
"Sulit bagi siapa pun untuk memperkirakan minyak akan pulih setelah greenback semahal ini," kata Bob Yawger, Direktur Mizuho.
Gangguan dari perang Rusia-Ukraina juga menghantam pasar minyak, dengan sanksi Uni Eropa yang melarang minyak mentah Rusia akan dimulai pada Desember bersama dengan rencana negara-negara G7 untuk membatasi harga minyak Rusia yang tampaknya akan memperketat pasokan.
Kenaikan suku bunga oleh bank sentral di banyak negara konsumen minyak menimbulkan kekhawatiran perlambatan ekonomi yang dapat menekan permintaan minyak.
"Dengan semakin banyak bank sentral dipaksa untuk mengambil langkah-langkah luar biasa tidak peduli dampaknya terhadap ekonomi, permintaan akan terpukul yang dapat membantu menyeimbangkan kembali pasar minyak," kata Craig Erlam, analis Oanda di London.
Perhatian beralih ke apa yang akan dilakukan Organisasi Negara Eksportir Minyak (OPEC) dan sekutu yang dipimpin Rusia, bersama-sama dikenal sebagai OPEC Plus, ketika mereka bertemu pada 5 Oktober, setelah sepakat pada pertemuan sebelumnya untuk memangkas produksi secara moderat.
Namun, OPEC Plus berproduksi jauh di bawah output yang ditargetkan, yang berarti pemotongan lebih lanjut mungkin tidak berdampak banyak pada pasokan.
"Kemungkinan akan muncul cukup tinggi untuk penyesuaian ke bawah dalam produksi oleh organisasi OPEC Plus," kata Jim Ritterbusch, Presiden Ritterbusch and Associates di Galena, Illinois.
Data pekan lalu menunjukkan OPEC Plus meleset dari targetnya sebesar 3,58 juta barel per hari pada Agustus, penurunan yang lebih besar ketimbang Juli.