Suara.com - Pemerintah bisa memanfaatkan instrumen pungutan ekspor (PE) dan bea keluar (BK) untuk mengendalikan volume ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO).
Hal ini disampaikan Akademisi dari Universitas Indonesia, Eugenia Mardanugraha mengatakan pemerintah dapat menggunakan karena kebijakan DMO dan DPO selama ini justru menimbulkan risiko ketidakpastian dan inefisiensi perdagangan.
"Selama diterapkan, kebijakan non tariff barrier ini, justru membatasi volume ekspor dan terhambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia," kata dia, Kamis (22/9/2022) lalu.
Menurut dia, dampak dari diberlakukannya DMO dan DPO adalah turunnya ekspor produk sawit secara signifikan dan petani sawit mengalami kesulitan menjual tandan buah segar (TBS).
Kebijakan DMO, tambahnya, tidak dapat menurunkan harga minyak goreng, namun justru akan menurunkan ekspor CPO yang pada akhirnya menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Ketua Tim Peneliti LPEM UI ini menambahkan kenaikan harga minyak goreng selama ini bukan disebabkan oleh ketersediaan CPO di dalam negeri, namun karena terjadinya kenaikan harga CPO di market internasional.
Kenaikan harga minyak goreng juga dipengaruhi oleh kebijakan harga eceran tertinggi (HET) yang membuat produsen mengurangi suplai sehingga terjadi kelangkaan.
Sehingga, lanjutnya, pemerintah dapat menggunakan instrumen pungutan ekspor (PE) dan bea keluar (BK) untuk mengendalikan volume ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO).
“Hasil pungutan ekspor CPO dapat digunakan untuk melakukan subsidi minyak goreng sehingga harga terkendali,” kata dia, dikutip dari Antara.
Baca Juga: Kemendag: 300 Ribu Ton Sawit Kebutuhan Dalam Negeri Harus Dipenuhi Agar Harga Minyak Goreng Stabil
Hal serupa disampaikan Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Gulat Manurung yang meminta Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan untuk segera menghapus DMO dan DPO minyak sawit/CPO.