Suara.com - Hadir sebagai lembaga negara perlindungan konsumen telah diamanatkan dalam UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI mengedepankan prinsip objektivitas dalam memberikan rekomendasi kepada pemerintah. Begitu pula terkait dengan konsumen dalam ekosistem pertembakauan.
Menanggapi persepsi bahwa konsumen sering sebagai beban dan distigma sebagai warga negara kelas dua, Firman Turmantara Endipradja, Ketua Komisi IV Bidang Kerjasama dan Kelembagaan BPKN RI menuturkan bahwa institusi ini tidak pernah membeda-bedakan ataupun mendiskreditkan konsumen.
“Konsumen itu lintas gender, lintas usia, lintas produk yang digunakan. Pada prinsipnya, jangan sampai ada konsumen yang merasakan kerugian. Terkait pertembakauan, bagaimana agar kesehatan tetap terjaga di sisi lain, kesejahteraan dalam hal ini ketenagakerjaan tidak tumpang tindih,” ujar Firman.
Kompleksitas perlindungan perokok dan konsumen produk tembakau juga tidak terlepas dari kebijakan ataupun peraturan yang cukup eksesif. BPKN RI berharap seharusnya pemerintah dalam hal ini kementerian terkait harus mengakomodir suara konsumen.
Baca Juga: Raup Pajak Tinggi, Tapi Industri Rokok Elektrik Masih Minim Kajian
“Dalam praktiknya, BPKN RI sering tidak dilibatkan, padahal sebagai lembaga sah di bawah naungan Presiden RI, ketika membuat kebijakan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, kami sering tidak diajak bicara. Dilema kami adalah ada kebijakan pemerintah, dan di sisi lain ada konsumen yang harus dilindungi,” sebutnya.
Perokok dan konsumen produk tembakau setiap tahun berkontribusi dalam target penerimaan CHT. Tahun ini sumbangsih konsumen lewat cukai rokok ditarget sebesar Rp201 triliun. Tahun depan, bebannya lebih besar lagi, ditarget sebesar Rp 245,45 triliun.
“Maka, penting bagi pemerintah membuat kebijakan yang melindungi ekosistem pertembakauan nasional,” kata Pengamat Kebijakan Publik Associated Program for International Law, Henry Thomas Simarmata.
Menurut data, ada sekitar 69,1 juta konsumen di ekosistem pertembakauan. Namun, sayangnya selama ini hanya sekadar menjadi objek dan subjek sasaran kebijakan yang eksesif dan regulasi yang tidak berimbang.
“Ekosistem pertembakauan memberikan multiplier effect perekonomian pada negara, mulai dari penyerapan tenaga kerja, cukai hingga pembangunan daerah. Pemerintah harus melibatkan representasi setiap elemen, mulai dari petani, pekerja, pabrikan, UMKM hingga industri yang ada dalam ekosistem pertembakauan untuk duduk bersama merancang regulasi yang bisa diterima semua pihak,”papar Henry.
Baca Juga: Tanpa Regulasi Pemerintah, Industri Produk Tembakau Alternatif Bakal Sia-sia
Pemerintah sebagai regulator, tambah Henry, harusnya lebih bijak dan selalu menggunakan prinsip helicopter view sebelum memutuskan mengimplementasikan sebuah peraturan atau kebijakan. Dengan kebijakans serta regulasi yang berimbang, maka setiap elemen hulu hingga hilir ekosistem pertembakauan dapat terus bertumbuh dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu, wajar bila kondisi ini akan menyulitkan konsumen terutama masyarakat kelas bawah. Sehingga BPKN RI selalu berusaha memberikan rekomendasi yang berimbang.
“Kami tetap memberikan advokasi dan edukasi kepada konsumen sesuai dengan amanah UU Perlindungan Konsumen. Memang selama ini belum ada lembaga konsumen khusus perokok atau produk tembakau di bawah naungan BPKN RI. Saat ini ada sekitar 400-an lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat belum ada yang spesialis di bidang perlindungan konsumen tembakau,” kata Firman.
Rekomendasi Perlindungan Konsumen
Munculnya tekanan terhadap upaya total melarang industri hasil tembakau, Ketua Komisi IV Bidang Kerjasama dan Kelembagaan BPKN RI berpendapat langkah tersebut tidak serta merta menjadi solusi. Justru menambah problem sosial masyarakat apalagi di tengah proses pemulihan pasca pandemi.
“Ini dalam konteks aktivitas ekonomi dan ketenagakerjaan,” ujarnya.
BPKN RI merekomendasikan agar kementerian negara yang berkaitan dengan ekosistem pertembakauan dapat mengakomodir perokok dan konsumen produk tembakau yang berkontribusi lewat Cukai Hasil Tembakau (CHT).
Firman berharap masyarakat dapat menjadi konsumen cerdas.
“Memang cukup kompleks terkait industri hasil tembakau ini. Ada jutaan orang yang berada dalam ekosistem pertembakauan di sisi lain negara juga butuh penerimaan negara. Oleh karena itu, perlu seobjektif mungkin dalam implementasi regulasinya,”tambah Firman.