Kebijakan DMO Sebagai Persetujuan Ekspor Dituding Jadi Biang Keladi Mahalnya Minyak Goreng

Selasa, 13 September 2022 | 22:11 WIB
Kebijakan DMO Sebagai Persetujuan Ekspor Dituding Jadi Biang Keladi Mahalnya Minyak Goreng
Ratusan mobil antre menjual tandan buah segar kelapa sawit di salah satu pabrik minyak kelapa sawit di Kabupaten Mukomuko, Selasa (27/5/2022). ANTARA/Ferri.
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) sebagai syarat mendapatkan Persetujuan Ekspor (PE) minyak kelapa sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) dituding sebagai salah satu penyebab terjadinya kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng sejak akhir 2021.

Hal tersebut dikatakan praktisi hukum Hotman Sitorus dalam keterangan persnya kepada media di Jakarta, Selasa (13/9/2022).

Hotman menjelaskan, Kewajiban DMO saat pengurusan Persetujuan Ekspor (PE) CPO sebagai pemenuhan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) akhirnya berujung tuduhan korupsi merupakan kekeliruan dalam memahaminya.

"Tuduhan korupsi PE minyak goreng berawal dari aturan pemerintah terkait dengan 20 persen kewajiban DMO, dan ketentuan harga penjualan di dalam negeri (DPO) atas komoditas CPO dan turunannya," ucap Hotman.

Menurut Hotman, sejatinya tuduhan korupsi dalam kasus minyak goreng dengan melanggar ketentuan Pasal 25 dan Pasal 54 ayat (2) huruf a, b, e, f Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, telah menunjukkan adanya kekeliruan dalam memahaminya.

"Karena pasal tersebut sebenarnya mengatur pengendalian barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting yang menjadi tugas Pemerintah dan Pemerintah daerah untuk pengendalian ketersediaan barang di seluruh wilayah NKRI dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik, dan harga yang terjangkau," ujar Hotman.

Sehingga, pemerintah pusat dan pemerintah daerah berkewajiban mendorong peningkatan dan melindungi produk barang kebutuhan pokok dan barang penting dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan nasional.

Hotman menjelaskan, sesuai penjelasan yang dimaksud dengan barang kebutuhan pokok adalah barang yang menyangkut hajat hidup orang serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat, seperti beras, gula, minyak goreng, mentega, daging sapi, daging ayam, telur ayam, susu, jagung, kedelai, dan garam beryodium.

Sedangkan yang dimaksud barang penting adalah barang strategis yang berperan penting dalam menentukan kelancaran pembangunan nasional, seperti pupuk, semen, serta bahan bakar minyak dan gas. Sehingga, Pasal 54 ayat (2) pemerintah dapat membatasi ekspor.

Baca Juga: Eksepsi Lima Terdakwa Kasus Minyak Goreng Ditolak

“Jika diperhatikan dari ketentuan Pasal 25 UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, maka ini adalah tugas Pemerintah dan Pemerintah Daerah, bukan tugas pelaku usaha,” tegasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI