Suara.com - Para sopir truk yang ada di wilayah Sumatera keberatan jika pemerintah menerapkan kebijakan Zero ODOL (Over Dimension Over Load) pada awal 2023 mendatang. Mereka mengatakan tidak akan mendapatkan penghasilan lagi jika kebijakan ini dipaksakan untuk dilaksanakan.
Koordinator Daerah (Korda) Provinsi Riau Persatuan Sopir Truk Indonesia (PSTI) Jakabare, Dedi Saputra, mengatakan kebijakan Zero ODOL ini jelas-jelas sangat memberatkan para sopir truk. Menurutnya, ratusan sopir truk di wilayah Riau yang kebanyakan memuat kelapa sawit dan kayu ini baru bisa mendapatkan penghasilan kalau membawa muatan berlebih dengan menggunakan truk-truk ODOL.
“Tapi, kalau ada pemotongan unit atau bak truk terkait kebijakan Zero ODOL, ongkosnya tidak ketemu karena kita hitungannya dari tonase. Kita tidak akan membawa uang untuk keluaraga kita lagi kalau truk-truk itu dinormalkan,” katanya ditemui saat menghadiri HUT ke-5 PSTI Jakabare yang merupakan salah satu anggota Aliansi Perjuangan Pengemudi Nusantara (APPN) di Lampung.
Untungnya, menurut Dedi, hingga saat ini belum ada penindakan-penindakan yang dilakukan Dishub Riau terhadap truk-turk ODOL di wilayah Riau ini. Dia mengatakan hampir semua truk-truk yang digunakan di Roau ini adalah ODOL.
“Kalau pun ada yang ketangkap, itu juga hanya sebatas dicoret saja pada batas normal truknya. Tapi, belum sampai ada pemotongan truk. Kita juga belum diberitahu soal pemberlakukan dari Dishub terkait pelaksanaan kebijakan Zero ODOL pada awal 2023 mendatang,” katanya.
Penolakan terhadap kebijakan Zero ODOL ini juga disuarakan para sopir truk dari Provinsi Jambi. Korda Provinsi Jambi, PSTI Jakabare, Didik, juga menyampaikan para sopir tidak akan bisa membawa uang untuk keluarganya jika bak-bak truk ODOK itu dinormalkan.
“Di Jambi ini, kalau baknya tidak tinggi tidak dapat uang, muatannya harus berat,” tukasnya.
Dia mengutarakan para sopir truk di Jambi yang mayoritas mengangkut batubara dan kelapa sawit ini cara perhitungannya tonase. Jadi, katanya, kalau muatannya di bawah 10 ton, para sopir tidak akan mendapat uang sama sekali. Dia mengibaratkan jika per ton muatan itu, ongkos yang diberikan kepada sopir sebesar Rp 100 ribu. Jadi, jika muatannya 10 ton, ongkosnya itu hanya sebesar Rp 1 juta.
“Dari ongkos sebesar Rp 1 juta untuk 10 ton muatan itu, untuk uang jalan Rp 650 ribu, untuk mobil Rp 350 ribu. Dari sini kan bisa dilihat, tidak ada uang yang tersisi buat sopir. Kenyataan ini harusnya juga dilihat pemerintah,” ucapnya.
Baca Juga: Pakar Sebut Kebijakan Zero ODOL Tidak Bisa Dirumuskan Sepihak
Namun, dia juga mengatakan bahwa hingga kini belum ada penindakan-penindakan yang dilakukan terhadap truk-truk ODOl yang ada di Jambi. Termasuk jembatan timbang juga sudah tidak difungsikan lagi.