Suara.com - Badan Eksekutif Mahasiswa Republik Indonesia (BEM RI) mendukung rencana kenaikan harga Pertalite dan mengalihkan subsidi dari orang kaya ke orang miskin. Demikian disampaikan Koordinator Pusat BEM RI Abdul Muhtar, dalam pernyataan sikap hari ini.
“Pertama, mendesak Pemerintah untuk mengalihkan anggaran subsidi energi yang sangat besar, yakni Rp502 Triliun pada Tahun Anggaran 2022, untuk pembangunan di berbagai sektor yang dibutuhkan masyarakat kelas bawah dan kegiatan produktif. Misalnya pendidikan, kesehatan, pembangunan infrastruktur energi dan sektor produktif lain yang bersinggungan langsung dengan hajat hidup masyarakat miskin di negeri ini,” kata Muhtar.
Kedua, lanjut Muhtar, BEM RI juga mendesak Pemerintah untuk mengevaluasi penetapan anggaran subsidi energi yang sangat besar tersebut. Apalagi, sebagian besar anggaran subsidi energi itu, yakni sekitar 80%, dinikmati masyarakat mampu atau orang-orang kaya.
Dan ketiga, Pemerintah harus berani dan tegas melakukan pengurangan subsidi energi dan direalokasi menjadi anggaran yang diperlukan masyarakat miskin seperti Bantuan Sosial (Bansos) atau Bantuan Langsung Tunai, fasilitas Kesehatan dan pendidikan agar dana APBN lebih dirasakan masyarakat.
Baca Juga: Polemik Subsidi BBM, AAKI usulkan Strategi 3W
“Alihkan subsidi dari si kaya ke si miskin yang benar-benar membutuhkan,” tegas Muhtar.
Menurut Muhtar, memang penting untuk meneliti, siapa sebenarnya mayoritas pengguna BBM Bersubsidi selama ini.
“Benarkah rakyat kecil, rakyat miskin, yang selama ini digaungkan untuk mendapatkan pembelaan? Faktanya pada BBM Bersubsidi, contohnya Pertalite, pengguna terbesarnya hingga sekitar 80% adalah mobil pribadi. Mereka adalah golongan masyarakat kategori menengah keatas,” lanjut Muhtar.
Jika rakyat kecil atau rakyat miskin pengguna Pertalite dikategorikan mereka yang hanya bisa memiliki sepeda motor, faktanya penyerapan pertalite oleh sepeda motor tidak lebih dari 30%.
“Dengan demikian, subsidi BBM selama ini sebenarnya memang terbanyak dinikmati oleh orang kaya. Makin kaya dia, makin besar kapasitas mesin mobilnya, maka paling banyak dia menikmati subsidi BBM. Makin miskin dia, hanya bisa beli sepeda motor atau bahkan sepeda motor pun tak punya, maka makin sedikit dia menikmati subsidi di negeri ini,” imbuhnya.
Menurut Muhtar, kenaikan harga memang tidak dapat dihindari, demi menyelamatkan keuangan negara. Terlebih, mengingat dana subsidi BBM Tahun Anggaran 2022 juga akan terserap habis pada bulan November 2022 yang akan datang.
Baca Juga: Apa itu Panic Buying? Begini Definisi, Penyebab dan Contoh Peristiwa
“Jika pemerintah mempertahankan harga BBM dan gas bersubsidi seperti saat ini, yang jauh berada di bawah harga keekonomian, maka pada TA 2023 yang akan datang, pemerintah diharuskan untuk "top-up" Rp 198 triliun, sehingga total subsidi dan kompensasi akan mencapai Rp 700 triliun,” jelasnya.
Memang, lanjutnya, sulit dihindari bahwa kenaikan harga BBM akan memicu kenaikan harga barang kebutuhan pokok. Para pelaku retail tidak ingin kehilangan sedikit margin keuntungannya, sehingga membebankan naiknya ongkos transportasi akibat kenaikan harga BBM, pada barang kebutuhan pokok yang dijualnya. Dan ini tentu menambah beban rakyat, utamanya rakyat kecil.
Maka dari itu, solusi yang mungkin bisa ditempuh pemerintah adalah meringankan beban kenaikan harga itu, langsung pada rakyat kecil atau rakyat miskin yang paling merasakan dampaknya.
“Yakni dengan mengalihkan anggaran yang diperoleh dari pengurangan subsidi itu pada Bantuan Sosial (Bansos) pada rakyat miskin,” pungkasnya.