Suara.com - Ketidakpastian geopolitik dan geoekonomi dunia memberikan pilihan sangat terbatas bagi Indonesia dalam pengelolaan fiskalnya: menyesuaikan harga BBM ke level yang tidak membahayakan APBN namun juga tak membahayakan kegiatan perekonomian Nasional.
Pandangan ini disampaikan Fithra Faisal, Direktur Executive Next Policy dalam diskusi publik 'Penyesuaian Harga BBM dan Pengalihan Subsidi ke Sasaran yang Lebih Tepat dan Langsung ke Penerima' yang digelar oleh HMI Badko Jabodetabek & Banten di Jakarta.
Menurut Fithra, sudah saatnya Indonesia mengurangi subsidi BBM dan mengalihkannya ke prioritas lain yang lebih memenuhi kebutuhan penting masyarakat.
"Sudah saatnya kita melihat bahwa ada prioritas lain. Kalau misalkan kita fokuskan ke subsidi energi, ini kita tidak tahu sampai kapan anggaran kita bisa tahan terhadap potensi kenaikan harga. Apalagi kan proyeksinya sampai akhir tahun bisa sampai 150 US dollar per barel karena memang ada potensi geopolitik yang belum reda. Yang kedua adalah adanya tren peningkatan demand jelang musim dingin karena biasanya permintaan energi naik," ungkap Fithra.
Tanpa langkah konkret mengurangi defisit anggaran sejak saat ini, lanjut Fithra, APBN tahun depan akan kembali defisit melebihi batas yang diperbolehkan.
"Daripada membengkak terus, konsekuensinya anggaran tahun depan, 2023, mungkin target defisit tidak tercapai lagi tuh, yang seharusnya di bawah tiga persen, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020," ujarnya.
Oleh karena itu, pilihan paling rasional bagi Indonesia saat ini adalah mengurangi besaran subsidi dengan menaikkan harga BBM jenis Pertalite, Pertamax dan Solar; serta mengalihkan potensi anggaran untuk membantu kelompok masyarakat yang memang membutuhkan.
"Selama ini yang menikmati subsidi energi 80 persen kan orang yang mampu. Hanya 20 persen saja yang digunakan oleh orang yang benar-benar membutuhkan," tambahnya.
Dalam jangka pendek, Fithra mengungkapkan, pengalihan subsidi bisa diberikan berupa bantuan langsung kepada masyarakat dalam upaya melakukan stabiliasasi inflasi. Sementara, dalam jangka panjang, Ia mengungkapkan, untuk membiayai sektor-sektor yang lebih produktif.
Baca Juga: Tolak Kenaikan BBM, Mahasiswa Geruduk Kantor Gubernur Kalteng
"Tanpa penyesuaian harga BBM akan ada tambahan 200 sampai 300 triliun lagi akibat kita harus subsidi energi. Nah ini bisa dialihkan ke sektor-sektor lain juga yang lebih produktif. Investasi di ranah pendidikan, investasi untuk membangun infrastruktur jalan, terus jalur kereta api, kemudian bangun industri, gitu kan. Itu semua yang sebenarnya potensi terhadap pertumbuhan ekonomonya lebih signifikan ketimbang subsidi energi yang ibaratnya membakar uang saja di jalan," ujarnya.
Di sisi lain, data BPS menunjukkan angka deflasi pada bulan Agustus 2022 menunjukkan tren positif. Hal tersebut yang dirasakan Fithra menjadi momentum penuh pemerintah dalam merestrukturisasi kebijakannya.
"Pada Agustus 2022, BPS baru saja mengumumkan angka deflasi minus 0,21 persen. Ini merupakan delfasi yang terbesar setelah 2019. Artinya tekanan inflasi sudah mulai reda. Secara tahunan juga sekarang inflasinya di bulan Agustus 4,69 persen, di bulan Juli 4,9 persen, itu kan delfasi juga kan tekanan inflasi," ungkapnya.
Fithra mengungkapkan bahwa kebijakan penyesuaian harga BBM mendapatkan momentum yang tepat di tengah kondisi ekonomi nasional yang sedang stabil.
"Yang kedua adalah manufacturing purchasing managers index naik di bulan Agustus. Sekarang 51,7, sebelumnya 51,3. Artinya perekonomian kita sekarang lagi solid, tekanan inflasi tidak terlalu besar, cenderung turun, maka sekarang adalah momentumnya untuk kenaikan harga atau melakukan penyesuaian," tutupnya.
Pengembangan SDM Lebih Produktif
Berbicara di diskusi yang sama, pengurus Ikatan Pemuda Sulawesi Selatan (IPSS) Muhammad Jusrianto mengimbau agar pengalihan alokasi subsidi dilakukan dengan lebih tepat sasaran.
"Sebetulnya banyak langkah yang bisa dilakukan pemerintah dalam pemberian subsidi agar lebih efektif, terutama pada sektor pengembangan SDM. Apalagi Indonesia saat ini dihadapkan dengan bonus demografi, tentunya akan menjadi keuntungan apabila memiliki kualitas SDM yang unggul bagi masa depan Bangsa. Salah satunya dengan memberikan pos subsidi yang cukup banyak untuk sektor pendidikan," kata Jusrianto.