Suara.com - Pemerintah Indonesia memberi sinyal segera menaikkan harga Pertalite dan solar dengan menyiapkan bantuan sosial tambahan, namun sejumlah kalangan menilai langkah ini tak cukup meredam dampak negatif kenaikan harga BBM.
Di lapangan tak semua masyarakat miskin masuk ke dalam daftar penerima bantuan sosial terbaru, termasuk masih menyasar kepada kelompok mampu.
Sementara itu, pemerintah mengatakan tambahan bantuan sosial ini demi menjaga daya beli masyarakat dari tekanan kenaikan harga global, dan mengurangi angka kemiskinan.
Sampai berita ini dipublikasi, belum ada pengumuman resmi tentang kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi.
Baca Juga: Pemerintah Berencana Naikkan Lagi Harga BBM, Driver Ojol di Jogja Mulai Resah
Baca Juga:
- Cerita warga yang tak terima bansos saat PPKM darurat/level 4: 'Jangankan dapat bantuan, didata saja tidak pernah'
- Bantuan subsidi upah 2022: 'Cemburu sosial' bagi pekerja informal
- Data penerima bansos 'amburadul, Pak RT ketiban pulung'
Marthina Damimetou, 82 tahun, warga Kota Jayapura, Papua, mengaku sudah tidak lagi masuk dalam daftar penerima bantuan sosial sejak awal 2021. Padahal, selama ini ia menggantungkan kebutuhan hidupnya dari bansos tersebut.
"Di kantor lurah, mereka juga bilang tidak ada [nama saya]. Jadi sudah, akhirnya saya setop tidak mau cari tahu lagi lebih jauh," katanya.
Sementara itu, Daeng Cayya, 62 tahun, warga Kota Makassar, Sulawesi Selatan, juga tidak lagi mendapatkan bantuan sosial sejak 2021. Padahal, selama ini ia mengandalkan bantuan sosial dari pemerintah setidaknya "bisa menutupi membeli beras".
"Apalagi tiap bulan itu kan kita bayar juga lampu [listrik] lebih Rp100.000, air Rp50.000. Itu sudah Rp200.000 dan pendapatan kita tidak ada," kata Cayya.
Baca Juga: Demo Mahasiswa Tolak Kenaikan Harga BBM di DPRD Nusa Tenggara Barat Ricuh
Ibu tiga anak yang menjadi tulang punggung keluarga, saat ini mengandalkan pendapatan dari hasil jualan kopi dan kue.
Cayya tak mempersoalkan namanya masuk atau tidak masuk dalam penerima bansos kali ini. Ia hanya berharap pemerintah mampu mengendalikan harga kebutuhan pokok.
"Tapi sebenarnya yang kita mau untuk pemerintah, tidak usah ada yang seperti itu [bansos] tapi harga [kebutuhan pokok] yang kita bisa jangkau," kata Cayya.
Di Kota Medan, Sumatera Utara, Wagiem, 56 tahun mengatakan sejauh ini belum mendapat pemberitahuan adanya bansos terbaru. "Enggak ada [pemberitahuan]," katanya, yang mengaku terakhir menerima BLT tahun lalu.
Tapi menurutnya, BLT BBM yang akan disalurkan pemerintah per keluarga sebesar Rp600.000 nampaknya hanya cukup memenuhi kebutuhan hidup "setengah bulan".
"Pusing lah, semua mahal kan. Suami nggak kerja-kerja. Macam mana," katanya.
Hal serupa dialami warga kota Medan lainnya, Sania, 52 tahun. Janda yang menanggung lima anak, bekerja sebagai tukang cuci panggilan belum mendapat bansos lagi sejak tahun lalu.
"Kerja sama memang kerja nyuci, rumah tangga. Jadi kadang berutang duit saya sama majikan. Jadi kalau dapat BLT, Alhamdulillah," katanya.
Evaluasi data sebelum penyaluran
Di sisi lain, analis kebijakan publik dari Universitas Indonesia yang BBC wawancarai, Lina Miftahul Jannah mengatakan suaminya masih terdaftar dalam sistem data penerima bantuan sosial.
"Diri saya pun dianggap orang miskin. Suami saya menerima BLT padahal punya penghasilan tetap. Dasarnya apa?," katanya bertanya-tanya.
Lebih lanjut, Lina menyerukan agar pemerintah memperbaiki data penerima sebelum menggelontorkan BLT BBM. "Artinya, evaluasi ini harus dilakukan, benahi data. Sehingga kemudian data ini menjadi data yang tepat sasaran," katanya.
Hingga berita ini dipublikasi, Sekjen Kementerian Sosial, Harry Hikmat yang dihubungi BBC, belum merespon.
Daftar bansos jelang kenaikan BBM bersubsidi
Sebelumnya, pemerintah memutuskan untuk menyalurkan bansos sebesar Rp24,17 triliun sebagai bentuk pengalihan subsidi BBM mulai awal September.
Bansos pertama berupa bantuan langsung tunai (BLT).
"Jadi dalam hal ini Ibu Mensos akan membayarkannya dua kali yaitu Rp300 ribu pertama dan Rp300 ribu kedua. Nanti Ibu Mensos akan bisa menjelaskan secara lebih detail itu akan dibayarkan melalui berbagai saluran kantor pos di seluruh Indonesia untuk 20,65 juta keluarga penerima dengan anggaran Rp12,4 triliun," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani, Senin (29/08).
Kedua, bansos kepada 16 juta pekerja yang memiliki gaji maksimal Rp3,5 juta/bulan.
"Ini akan diberikan kepada 16 juta pekerja yang memiliki gaji maksimum Rp3,5 juta per bulan dengan total anggaran sebesar Rp9,6 triliun," tambah Menteri Sri Mulyani.
Selanjutnya, pemerintah daerah akan menggunakan anggaran sebesar 2 persen dari dana transfer umum yaitu Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) dalam bentuk subsidi transportasi.
Rangkaian bansos ini diharapkan bisa menjaga daya beli masyarakat, termasuk mengurangi kemiskinan.
Bansos berupa BLT merupakan jurus pemerintah dalam meredam kenaikan harga BBM bersubsidi yang dilakukan sejak era Presiden SBY pada 2004. Saat itu, kebijakan tersebut mendapat kritik dari PDI Perjuangan yang saat ini menjadi partai penguasa.
Bagaimana pun sejumlah kalangan menilai rangkaian bansos ini sebagai sinyal kuat dari pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi.
Narasi pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi
Dalam pelbagai kesempatan pernyataan kepada publik, Menteri Sri Mulyani juga menyinggung BBM bersubsidi lebih banyak dinikmati masyarakat mampu, termasuk di dalam Instagramnya.
https://www.instagram.com/p/Chwz22bpGMM/
Ia juga memprediksi akan terjadi penambahan anggaran subsidi dan kompensasi sebesar Rp198 triliun tahun ini.
"Jumlah subsidi dan kompensasi ini diperkirakan akan habis dan bahkan terlampaui mencapai di atas Rp698 triliun hingga akhir tahun. Ini akan menjadi tambahan belanja RAPBN 2023," kata Menteri Sri Mulyani dalam rapat dengan Banggar DPR, Selasa (30/08) seperti dikutip Bisnis.
Di sisi lain, harga BBM bersubsidi juga akan dipengaruhi harga minyak mentah yang diprediksi mencapai US$105/barel pada akhir tahun, lebih tinggi dari asumsi makro pada Perpres 98/2022, yaitu US$100/barel. Nilai tukar US Dollar terhadap Rupiah juga berada di angka Rp14.700, lebih tinggi dari asumsi sebesar Rp14.450.
Dan, kuota volume BBM bersubsidi yang dianggarkan dalam APBN 2022 diperkirakan akan habis pada Oktober 2022.
Pertaruhan reputasi Presiden Jokowi
Bagaimana pun, rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi dengan dalih penghematan APBN masih "separuh-separuh," kata analis kebijakan publik, Lina Miftahul Jannah.
"Contoh, biaya perjalanan [pejabat] itu masih dibuka kerannya. Biaya rapat, itu hal-hal yang bisa dikurangi dengan cukup signifikan.
"Jadi dievaluasi perjalanan dinas yang harus dengan golongan sekian, di hotel bintang sekian. Dengan kamar kelas sekian. Bisa dikurangi, bisa menghemat banyak," kata Lina.
Sementara itu, Direktur Riset Senior dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Piter Abdullah memperkirakan pemerintah bisa menghemat sebesar Rp76 triliun dari kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi.
Hitungan ini dengan asumsi menaikkan harga pertalite menjadi Rp10.000/liter dari sebelumnya Rp7.650/liter.
"Penghematannya terlalu sedikit untuk risiko yang terlalu besar," kata Piter.
Risiko besar tersebut adalah "lonjakan inflasi sangat besar" yang ia perkirakan tahun ini berada di angka 6 - 10%. Inflasi ini akan berdampak pada daya beli masyarakat yang menurun, perlambatan pertumbuhan ekonomi, dan investasi terhambat.
"Pembukaan lapangan kerja juga tidak akan maksimal, artinya pengangguran akan bertambah," kata Piter.
Dampak kenaikan harga BBM bersubsidi juga bukan hanya menyasar kelompok miskin, tapi juga menengah, termasuk industri.
"Keputusan menaikkan BBM bersubsidi itu berisiko besar yang akan mempertaruhkan reputasi pemerintah, reputasi Pak Jokowi," tambah Piter.
BLT itu tidak mengurangi dampak negatif kenaikan harga BBM bersubsidi. Sakitnya tetap dirasakan, ibarat, "Semua orang digebuki, sebagian dikasih permen," kata Piter.
Piter mengatakan pemerintah masih bisa mengambil opsi lain dengan tidak menaikkan BBM bersubsidi. Di antaranya tetap menahan harga BBM bersubsidi seperti saat ini, karena pemulihan perekonomian masih berlanjut hingga tahun-tahun mendatang. Menurutnya "pelebaran defisit [APBN] itu nggak besar-besar banget".
Kedua, membuat produk bahan bakar baru antara Pertalite dan Pertamax. Cara ini pernah dilakukan saat pemerintah menghapus produk BBM Premium dengan RON 88. "Dengan cara ini, orang tidak berbondong-bondong belinya Pertalite, karena ada pilihan yang lebih baik," katanya.
Wartawan Dedi Hermawan di Medan, Muhammad Aidil di Makassar, dan Yuliana Lantipo di Jayapura berkontribusi atas artikel ini.