Dilema Rencana Kenaikan Harga BBM: Jangan Dinaikkan Kalau Kasihan Rakyat

SiswantoBBC Suara.Com
Sabtu, 27 Agustus 2022 | 18:45 WIB
Dilema Rencana Kenaikan Harga BBM: Jangan Dinaikkan Kalau Kasihan Rakyat
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Rencana kenaikan harga bahan bakar minyak, seperti Pertalite dan solar, disebut berpotensi akan menciptakan efek domino yang jauh lebih buruk dibandingkan dengan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), kata pengamat ekonomi.

Pemerintah kini tengah merumuskan opsi terbaik terkait tingginya konsumsi dan harga minyak dunia.

Terdapat tiga pilihan, yaitu menahan harga bahan bakar minyak (BBM) sehingga berpotensi menambah anggaran subsidi energi Rp198 triliun, mengendalikan volume konsumsi BBM, dan terakhir menaikkan harga BBM.

Sebelumnya, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, dalam kuliah umum di Universitas Hasanuddin, Makasar, Minggu (21/08), mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo kemungkinan akan mengumumkan kenaikan harga BBM pekan depan.

Baca Juga: Kuota Pertalite Subsidi Habis September 2022, Pengamat : Pemerintah Kurang Sigap dan Buruk Dalam Penyediaan BBM

Dua hari kemudian, Selasa (23/08), Presiden Jokowi mengatakan, telah memerintahkan jajarannya untuk menghitung dengan rinci dampak yang akan muncul sebelum mengambil keputusan apakah menaikkan harga BBM atau tidak.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Selasa (16/08), mengatakan, harga penugasan Pertalite sebagai Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) berada di angka Rp7.650 per liter, sedangkan harga keekonomian Pertalite sebesar Rp13.150 per liter.

Atau, terdapat selisih sekitar Rp6.000 per liter yang dikompensasikan oleh negara.

Kemudian, untuk Solar dijual dengan harga Rp5.150 per liter, jauh lebih rendah dari harga keekonomian di atas Rp18.000 atau selisih sekitar Rp13.000 per liter yang disubsidi negara.

‘Kami masih berjuang dengan pandemi, jangan naik sekarang’

Wacana kenaikan harga bahan bakar minyak, Pertalite, disambut kekhawatiran oleh Anton, 52 tahun, yang bekerja sebagai supir taksi di Jakarta.

Baca Juga: Kapal Tanker Bermuatan 90 Ton BBM Ilegal Ditangkap Bakamla

“Kalau dalam ekonomi sekarang, dampak Covid masih sangat terasa. Jangan naik dulu (BBM) lah Pak,” katanya yang memiliki dua anak dan membutuhkan biaya besar, Kamis (25/08).

Anton, yang biasanya menyetor uang Rp50 ribu dan jika beruntung mencapai Rp150 ribu per hari kepada keluarga, tidak bisa membayangkan dampak yang akan muncul dari kenaikan BBM.

Menurutnya kenaikan BBM akan berpotensi meningkatkan harga bahan pokok yang kini telah tinggi dan semakin menekan kehidupan sehari-hari mereka.

“Sekarang saja uang ke rumah kurang. Kalau naik lagi sekarang, semua (kebutuhan) akan melonjak semua Pak. Dan pendapatan juga akan menurun. Semakin sulit hidup ini,” ujarnya.

‘Jangan dinaikkan kalau kasihan sama rakyat’

Senada, Sekretaris Jenderal Induk Koperasi Pedagang Pasar (Inkopas) Ngadiran, juga menolak tegas jika harga BBM dinaikan.

“Kalau sudah BBM naik itu otomatis semua barang akan naik. Yang susah kan orang kecil, kalau orang besar dan buat keputusan tidak mikirin, memang dia pernah belanja ke pasar?” katanya.

 “Orang kecil itu sekarang banyak pengangguran, pekerjaan susah, pendapatan susah, buat belanja susah, dan harganya mahal. Jangan tanya harga yang naik, memang ada yang turun?” ujarnya.

Ngadiran mencontohkan, sepanjang hidupnnya, harga telur tidak pernah lebih dari Rp30.000 perkilo. Namun sekarang, katanya, ada yang mencapai Rp34.000 – padahal harga rata-rata di kisaran Rp20.000-an.

“Harapan saya, jangan dinaikkan kalau kasihan sama rakyat. Kecuali mau menginjak rakyat,” ujarnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani, Selasa (23/08), mengatakan tingkat konsumsi BBM hingga akhir tahun berpotensi mencapai 29 juta kiloliter, meningkat tajam dari yang disepakati sebesar 23 juta kiloliter.

Sampai Juli 2022, konsumsi Pertalite telah mencapai 16,8 juta kiloliter, artinya hanya tersisa 6,2 juta kiloliter hingga akhir tahun.

Sementara kebutuhan Solar mencapai 17,5 juta kiloliter dari kuota sebesar 15 juta kiloliter.

Sri Mulyani menambahkan, anggaran subsidi diprediksi meningkat Rp198 triliun, dari sebelumnya Rp502,4 triliun - terdiri dari subsidi energi Rp208,9 triliun dan kompensisi energi Rp293,5 triliun - menjadi hampir Rp700 triliun.

Jumlah tersebut untuk memenuhi kebutuhan Pertalite, Solar, liquid petroleum gas (LPG) tiga kilogram dan listrik.

Peningkatan subsidi terjadi karena harga minyak dunia sepanjang tahun 2022 berada di atas US$100 per barel – jauh di atas perkiraan APBN 2022 sebesar US$63 per barel.

Sri Mulyani mengungkapkan tiga opsi yang tengah dipertimbangkan pemerintah, yaitu menaikan harga BBM, membatasi jumlah konsumsi dan tetap mempertahankan harga. 

Apa efek domino jika BBM naik?

Direktur Eksekutif Center of Reform Economics (CORE), Mohammad Faisal mengatakan, opsi kenaikan harga BBM akan menciptakan efek domino yang buruk bagi masyarakat.

“Pertama, tanpa kenaikan saja inflasi tahun ini diprediksi 5-6%. Jika BBM naik, apalagi sampai 30% maka inflasi bisa mencapai 8%,” kata Faisal.

Sejauh ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi mencapai 4,94% pada Juli 2022, tertinggi sejak Oktober 2015 lalu.

Kemudian, lanjut Faisal, harga pangan yang kini telah meningkat tajam akan kembali terbang bebas.

Inflasi harga pangan dari maksimal 6% hingga Juli 2022 telah meningkat sebesar 11,47%, angka tertinggi sejak tahun 2014.

“Jika BBM naik, inflasi pangan akan terbang menjadi 15%. Itu akan berpengaruh besar bagi kalangan menengah bawah,” kata Faisal.

Kenaikan harga pangan, tambah Faisal, akan meningkatkan jumlah kemiskinan, dan melebarkan kesenjangan ekonommi.

Efek lainnya adalah penurunan konsumsi atau daya lebih masyarakat yang belum pulih akibat hantaman pandemi Covid-19.

“Saat ini pendapatan masyarakat masih lebih rendah dibandingkan sebelum pandemi, sementara inflasinya sudah jauh lebih tinggi. Sudah pasti pendapatan riil-nya turun dan akan mempengaruhi daya beli konsumsi,” katanya.

Kemudian, rencana kenaikan BBM juga, ujar Faisal, telah berpengaruh kepada kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia, sebesar 25 basis poin menjadi 3,75%, Selasa (23/08).

“Peningkatan BI ini berdampak ke bank komersil, terutama kredit yang menjadi lebih mahal sehingga penyaluran kredit ke sektor riil akan terhambat," tambahnya.

Sebelumnya, BI juga mengatakan, keputusan kenaikan ini diambil untuk memitigasi resiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi akibat kenaikan BBM non subsidi dan inflasi pangan.

“Sudah fiskalnya diikat, sekarang moneternya juga. Kenaikan BBM menimbulkan efek domino yang lebih buruk dibandingkan defisit APBN. Resiko ke APBN lebih kecil,” kata Faisal.

Jika harga BBM tidak naik, apa resikonya bagi APBN?

Defisit APBN 2022 kini berada di angka Rp732,2 triliun atau 3,92% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Sementara target defisit pemerintah berada di angka 4,5% atau Rp840,2 trilun dari PDB.

Melihat angka itu, kata Faisal, pemerintah masih memilih ruang untuk mengalokasikan anggaran ke BBM hingga akhir tahun.

“Jika bertambah Rp198 triliun berarti penambahan sekitar 0,6%. Jadi masih di kisaran 4,5% terhadap PDB, seusai target pemerintah. Masih dalam batas target dan gap yang tidak besar.

“Jadi, kalau dipikir dengan akal sehat, mana yang lebih berat? Menurut saya dampak ke ekonomi jika BBM naik akan sangat buruk, sementara bagi APBN tidak terlalu berpengaruh signifikan,” ujarnya.

“Jadi kalau dilihat semua resikonya terhadap ekonomi dan APBN, mestinya tidak dinaikan dulu tahun ini. Memang bertambah subsidinya, tapi bisa diminimalisir dengan pengendalian penggunaan dimana hanya kalangan tertentu yang berhak dapat subsidi,” katanya.

‘Pembatasan dan pengawasan bukan menaikan harga’

Senada dengan itu, anggota Komisi VII DPR Fraksi PKS Mulyanto mengatakan, pembatasan dan peningkatan pengawasan distribusi BBM merupakan pilihan terbaik dibandingkan menaikkan harga.

Mulyanto mengatakan, pembatasan BBM bersubsidi dilakukan untuk kendaraan selain roda dua, kendaraan umum dan pengangkut barang.

“Hasil simulasi ini menunjukkan, pemerintah dapat mereduksi anggaran subsidi hingga 69%,” kata Mulyanto.

Pembatasan itu kemudian, tambahnya, dikombinasikan dengan pengawasan yang ketat di lapangan.

Menurutnya, selama ini, seperti dilaporkan Pertamina dan BPH Migas, ditengarai terjadi kebocoran BBM bersubsidi dalam jumlah yang cukup besar.

Kebocoran terjadi ke sektor industri dan pertambangan, serta terjadi penimbunan dan  ekspor ilegal ke negara tetangga, tambahnya.

“Kalau kebocoran BBM ini dapat dikurangi secara maksimal maka kuota dan dana subsidi yang ada untuk tahun 2022 akan mencukupi. Meski tanpa kenaikan harga sekalipun,” kata Mulyanto.

Besarnya ketergantungan Indonesia kepada minyak dunia disebabkan jumlah produksi Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan konsumsi.

Mamit Setiawan, direktur eksekutif Energy Watch mengatakan, jumlah produksi minyak mentah Indonesia hanya berada di angka sekitar 620.000 barel per hari, sementara tingkat konsumsi sekitar 1,6 juta barel per hari, atau selisih kurang lebih satu juta barel yang harus diimpor.

Dari selisih tersebut, pemerintah memberikan dana kompensasi kepada Pertalite, dan subsidi ke Solar.

Untuk itu, katanya, jika pemerintah ingin menaikan harga BBM maka harus diimbangi dengan stimulus bantuan kepada masyarakat menengah ke bawah, seperti bantuan langsung tunai, sehingga tidak terlalu membebani biaya hidup mereka.

“Saya kira ini menjadi dilema bagi pemerintah, apakah akan menaikan, atau akan menambah subsidi, atau tidak ada pembatasan. Pil pahit ini mau tidak mau harus diambil,” katanya.

Presiden: Kenaikan Pertalite menyangkut hajat hidup orang banyak

Presiden Joko Widodo telah memerintahkan jajarannya untuk menghitung secara detail sebelum mengambil keputusan apakah akan menaikkan harga Pertalite.

"Semuanya saya suruh hitung betul, hitung betul sebelum diputuskan," tegas Presiden dalam keterangannya usai meninjau progres renovasi Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Jakarta, Selasa, (23/08).

Jokowi meminta jajarannya untuk berhati-hati terhadap dampak yang akan timbul dari kenaikan harga Pertalite.

"Ini menyangkut hajat hidup orang banyak, jadi semuanya harus diputuskan secara hati-hati, dikalkulasi dampaknya, jangan sampai dampaknya menurunkan daya beli rakyat, menurunkan konsumsi rumah tangga," tutur Jokowi.

Selain daya beli dan konsumsi masyarakat, Jokowi juga mengingatkan jajarannya terhadap kenaikan inflasi dan penurunan pertumbuhan ekonomi nasional sebagai dampak yang akan timbul dari kenaikan harga Pertalite.

Sebelumnya, Minggu (21/08), Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan mengatakan Presiden Jokowi kemungkinan besar akan mengumumkan kenaikan harga BBM subsidi Solar dan Pertalite pekan depan.  

Kenaikan BBM, kata Luhut, merupakan salah satu upaya untuk mengurangi beban APBN, selain langkah pemerintah mendorong penggunaan kendaraan listrik dan biofuel.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI