Suara.com - Kendaraan tanpa awak atau kendaraan otonom (autonomous vehicle, AV) merupakan moda transportasi masa depan dan akan menjadi bagian dari sistem transportasi cerdas (intelligent transport system atau ITS).
Kendaraan ini memiliki beberapa keunggulan. Di antaranya, tepat waktu, konsumsi bahan bakarnya hemat hingga 15%, mengurangi emisi karbon, mengatasi kemacetan lalu lintas, dan mengurangi tingkat kecelakaan yang terjadi akibat kelalaian manusia (human error) hingga 40%.
Dengan sejumlah keunggulannya tersebut, pemerintah ingin mengoperasikan AV di kawasan Ibu Kota Negara di Kalimantan Timur. Ini sejalan dengan konsep IKN,
yakni green and smart city yang mengutamakan penggunaan energi baru terbarukan dan ramah lingkungan. Jadi, penggunaan kendaraan listrik dan kendaraan otonom sejalan dengan konsep IKN.
Meski begitu masih ada sejumlah tantangan dalam mewujudkan AV sebagai bagian dari sistem transportasi nasional. Di antaranya, kesiapan jalan, kondisi lingkungan, jaringan internet, regulasi teknis yang terkait dengan laik jalan, termasuk pelaksanaan uji kendaraan. Pemerintah saat ini tengah menyusun dan mematangkan regulasi yang terkait dengan kendaraan otonom. Untuk mewujudkan AV menjadi bagian dari sistem transportasi nasional, pemerintah membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari banyak pihak, seperti akademisi dan kalangan swasta.
Baca Juga: Jababeka-Lanal Morotai Kibarkan Bendera di Bawah Laut Bersama Hiu Jinak
Demikian disampaikan Menteri Perhubungan Dr. Budi Karya Sumadi dalam sambutan kuncinya pada webinar Melirik Prospek Kendaraan Otonom di Indonesia:
Peluang serta Tantangannya. Webinar yang diselenggarakan secara daring ini merupakan hasil kolaborasi antara President University (PresUniv),
Kementerian Perhubungan dan PT Jababeka & Co. Lebih dari 500 peserta mengikuti webinar ini. Sebagian mereka adalah mahasiswa, dosen dan perwakilan dari sekitar 60 perguruan tinggi di seluruh Indonesia.
Sementara, dalam sambutan pembukanya, Direktur PT Jababeka Tbk. Suteja Sidarta Darmono menegaskan, pihaknya siap mendukung kehadiran kendaraan
otonom di Indonesia. Suteja memaparkan, Jababeka saat ini tengah mengembangkan Jababeka Silicon Valley atau Correctio lewat kolaborasi dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Indogen Capital dan PT Bisa Artifisial Indonesia (BISA AI).
Jababeka mengembangkan Correctio dengan dukungan tiga pilar, yakni Industry 4.0, Society 5.0, dan Transit Oriented Development (TOD). Correction hadir untuk mendukung perusahaan-perusahaan yang ingin migrasi ke Industry 4.0. Untuk mendukung itu, ungkap Suteja, pihaknya tengah membangun jaringan internet 5G di
Jababeka Silicon Valley. AV, lanjut dia, membutuhkan dukungan infrastruktur. Salah satunya adalah koneksi internet yang kuat.
“Dengan adanya jaringan internet dengan sinyal yang kuat, AV dapat digunakan di kawasan ini,” kata Suteja.
Kelebihan dan Kekurangan Kendaraan Otonom
Baca Juga: Andalkan Teknologi 5G dan IoT, Telkomsel Kolaborasi dengan Jababeka
Selain Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Suteja Darmono, webinar kendaraan otonom ini juga menghadirkan pembicara Irjen Pol. (Purn.) Drs. Budi
Setiyadi, S.H., M.Si., Staf Utama Menteri Perhubungan bidang Transportasi Darat dan Konektivitas, Rektor PresUniv Prof. Dr. Chairy yang juga pakar perilaku konsumen, Dr. Agung Wicaksono yang Managing Director PT Jababeka Infrastruktur, serta Jhanghiz Syahrivar, Ph.D., pakar pemasaran kontemporer dan peneliti kendaraan otonom dari PresUniv.
Menurut Budi Setiyadi, ada lima elemen yang menentukan perkembangan kendaraan bermotor, yakni persepsi, lokalisasi, perencanaan, kendali kendaraan
(vehicle control/driver control) dan sistem manajemen.
"Persepsi adalah proses untuk merasakan lingkungan di sekitar kendaraan otonom." kata Budi.
Jadi, lanjut dia, persepsi boleh dibilang sebagai “penglihatan” kendaraan dengan menggunakan dukungan teknologi sensor, seperti LiDAR (Light Distance and Ranging), RADAR dan computer vission. Teknologi sensor lainnya yang bisa digunakan adalah front camera dan sensor ultrasonic.
Sementara, lokalisasi berfungsi mengidentifikasi posisi kendaraan, rambu lalu lintas, persimpangan jalan, termasuk kemacetan. Lalu, perencanaan berfungsi untuk menentukan kemudi dan pergerakan kendaraan berdasarkan informasi dari persepsi. Kemudian, kendali kendaraan digunakan saat kendaraan mulai dipergunakan, dan sistem manajemen merupakan proses komunikasi antara manusia dengan mesin
mobil otonom atau biasa disebut Human Machine Interface.
Menurut Budi Setiyadi, selain memiliki beberapa kelebihan, kendaraan otonom juga ada kekurangannya, yakni teknologinya masih mahal. Ini membuat harga
kendaraan otonom menjadi tinggi. Selain itu, lanjut Budi Setiyadi, oleh karena kendaraan ini dikendalikan komputer, ada potensi penyadapan.
“Dalam konteks
Indonesia, masih banyak penduduk yang menggantungkan hidupnya dengan menjadi
pengemudi. Kalau semakin banyak kalangan yang memakai kendaraan otonom, ini berpotensi meningkatkan angka pengangguran,” papar Budi Setiyadi.
Di Indonesia, saat ini kendaraan otonom yang berbasis tenaga listrik telah hadir sejak Mei 2022, namun masih dioperasikan secara terbatas. Kendaraan dengan nama Navya Arma saat ini beroperasi di Q Big BSD City dan kawasan BSD Green Office Park, keduanya di kawasan Serpong, Tangerang Selatan, Banten.
Proses Adopsi AV Perlu Disiapkan
Sementara, Chairy membahas prospek kendaraan otonom dari perspektif perilaku konsumen. Menurut Chairy, saat ini AV masih menjadi sesuatu yang baru di
masyarakat. Maka, agar kehadirannya bisa diterima, yakni masyarakat mau menggunakannya secara rutin, proses adopsinya perlu dipersiapkan. Apalagi, lanjut
Chairy, AV adalah produk inovasi yang dapat mengubah perilaku konsumen dan sistem transportasi dunia, termasuk Indonesia.
Chairy lalu memaparkan sejumlah riset tentang perilaku konsumen yang terkait AV. Pertama, tentang kontrol. Semakin tinggi keinginan konsumen untuk mengontrol, maka keinginannya untuk menggunakan, atau membeli, justru cenderung semakin kecil.
“Sebab ada aspek lain dari mengemudi. Bagi seseorang yang menikmati mengemudikan kendaraan, ia masih
punya keinginan untuk mengontrol semuanya.” kata Chairy.
Sementara, dengan AV, penumpang hanya perlu duduk manis hingga sampai ke tujuan.
“Hal semacam ini perlu menjadi perhatian,” ucap Chairy.
Kedua, Chairy menemukan masih adanya miskonsepsi tentang AV. Misalnya, ada yang menganggap AV sudah tersedia di pasar. Padahal, kenyataannya belum ada.
Jadi, kalau sekarang ada yang mengoperasikan kendaraan otonom, itu baru sebatas prototipe.
“Kalau ada miskonsepsi semacam ini, konsumen justru akan lebih mudah menerima kehadiran AV.” ucapnya.
Ketiga, AV adalah inovasi yang terbilang radikal. Inovasi yang semacam ini, lanjut Chairy, justru menimbulkan akan resistensi dari konsumen.
“Konsumen menjadi tidak yakin dengan keandalan produknya. Misalnya, bagaimana kalau terjadi kegagalan dari sistem IT-nya. Ini akan membuat konsumen ragu-ragu memakai AV,” paparnya.
Maka, saran Chairy, untuk meningkatkan adopsi konsumen terhadap AV, sebaiknya jangan langsung masuk ke level tertinggi dari AV, yakni level 5 yang full
automation.
“Sebaiknya mulai dari level yang paling rendah dulu. Ketika konsumen sudah mulai yakin dan mau menggunakan, perlahan-lahan ditingkatkan ke
level yang lebih tinggi.” katanya.
Sementara, Managing Director PT Jababeka Infrastruktur Dr. Agung Wicaksono memaparkan penggunaan AV atau kendaraan otonom di berbagai negara.
“Ujicoba AV paling cocok dilakukan di lingkungan kampus.” kata Agung.
Ia lalu memaparkan pengalamannya menggunakan AV di Nanyang Technological University, Singapura.
“Di sana suda ada bus otonom yang dipakai untuk mengangkut mahasiswa. Selain bus, ada juga kendaraan otonom lainnya yang mampu berjalan sendiri tanpa pengemudi. Itu menunjukkan kemampuan persepsi, lokalisasi, dan sensor,” papar Agung.
Agung juga memaparkan kesiapan kawasan industri Jababeka untuk menggunakan dan menjadi bagian dari sistem transportasi masa depan.
“Di kawasan Jababeka sudah ada charging untuk electric vehicle (EV). Lalu, di kawasan ini pula sudah ada pabrik baterei dan charging untuk EV,” kata Agung.
Selain itu, ungkap Agung, Jababeka akan menjadi titik temu berbagai jaringan transportasi publik masa depan.
“Akan ada Light Rail Transit (LRT) yang sebentar
lagi beroperasi dengan stasiun di Bekasi Timur. Lalu, tahun depan kereta cepat Jakarta-Bandung juga akan beroperasi. Stasiunnya berada di Karawang, tak jauh dari Jababeka. Kemudian, stasiun terakhir Mass Rapid Transport (MRT) jaringan timurbarat dari Balaraja di Tangerang akan berhenti di Cikarang, Bekasi,” paparnya.
EV Membuat Industri Pariwisata Lebih Futuristik
Peneliti dari PresUniv, Jhanghiz Syahrivar Ph.D., memaparkan hasil risetnya tentang potensi pasar kendaraan otonom. Katanya, saat ini populasi dunia sudah mulai menua.
“Semakin banyak penduduk dunia yang berusia lebih dari 60 tahun,” ucap Jhanghiz.
Di Indonesia, misalnya, jumlahnya mencapai 25 juta atau sekitar 10% dari populasi.
“Ditambah dengan para penyandang difabel, mereka ini menjadi pasar potensial dari kendaraan otonom atau EV,” urainya.
Jhanghiz juga melihat pentingnya penggunaan EV di industri pariwisata.
“Itu akan membuat wajah industri pariwisata menjadi lebih futuristik,” tegasnya.
Selain itu, Jhanghiz juga menyoroti masalah kurangnya tenaga pengemudi di sektor logistik, yang mengoperasikan truk-truk berukuran besar.
“EV bisa menjadi solusi atas masalah ini,” katanya.
Selebihnya, potensi EV juga tercermin dari terus meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengurangi emisi karbon, menurunkan tingkat kecelakaan lalu lintas akibat human error, serta pentingnya efisiensi dalam
berkendara. Meski begitu Jhanghiz juga khawatir dengan masih tingginya risiko gagal sistem.
Dia mengutip sebuah riset yang dilakukan tahun 2015.
“AV diharapkan mampu menurunkan tingkat kecelakaan akibat human error. Faktanya, menurut riset tersebut, tingkat tabrakan (collision) EV masih lebih tinggi dibandingkan dengan kendaraan yang dikemudikan secara manual. Perbandingannya, EV 9,1 per juta mil dan yang manual hanya 4,1 per juta mil.”Papar Jhanghiz.
Jhanghiz juga menyoroti lambatnya perkembangan EV karena tiga masalah utama. Urainya, 80% masalah adalah bagaimana membuat EV bisa tetap mengikuti
garis yang ada di jalan. Lalu, 10%-nya lebih rumit, yakni bagaimana EV saat melintas di persimpangan jalan atau bundaran, serta 10% lainnya adalah bagaimana EV
mampu merespon kondisi-kondisi yang tidak terduga (edge cases).
“Contohnya adalah kalau ada hewan yang tiba-tiba melintas,” kata Jhanghiz.
Itulah sejumlah kendala dari perkembangan dan penerapan EV di Indonesia maupun dunia. Sebagai bagian dari sistem transportasi masa depan, kehadiran EV merupakan keniscayaan. Guna mengatasi berbagai masalah tersebut, pemerintah, dunia industri dan para peneliti di perguruan tinggi perlu berkolaborasi.