Presidensi B20 Indonesia juga, sambung Shinta, menyoroti beberapa legacy program yang berpotensi besar bisa dilakukan kolaborasi.
Pertama terkait The Carbon Center of Excellence untuk menavigasi topik perdagangan karbon melalui pusat pengetahuan dan pusat berbagi praktik terbaik.
Kedua, menginisiasi Global Blended Finance Alliance untuk SDGs sebagai salah satu terobosan dalam pendanaan yang merupakan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, lembaga filantropi, akademisi dan pemangku kebijakan lainnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Arsjad Rasjid mengatakan transisi energi harus dilakukan dalam upaya menghindari dampak dari perubahan iklim yang mengakibatkan bencana global.
Namun, kata Arsjad, terdapat kesenjangan pembiayaan antara negara maju dan berkembang dalam upayanya mengatasi perubahan iklim.
“Kesenjangan pembiayaan ini perlu diatasi melalui kolaborasi bersama antara negara maju dengan negara berkembang," kata Arsjad.
Selain persoalan pembiayaan, transfer pengetahuan dan teknologi juga diperlukan untuk membangun kapabilitas dan adopsi teknologi baru dalam bidang energi hijau serta digitalisasi di negara-negara berkembang.
Arsjad mengajak semua pihak untuk ambil bagian dalam pengembangan ekonomi dan menahan laju emisi yang kian hari makin memprihatinkan. Untuk transisi energi menuju net zero emission pada 2060, Indonesia hingga saat ini masih membutuhkan investasi sekitar US$25 miliar per tahun.
Komitmen dan target itu bisa tercapai melalui kolaborasi yang kuat antara sektor swasta dan publik serta pihak internasional untuk membangun lingkungan hijau.
Baca Juga: Delegasi B20 Ajak Jepang Tingkatkan Investasi hingga Transisi Energi
“Indonesia telah terbukti memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar di pembangkit listrik tenaga air, panas bumi, angin dan tenaga surya dan itulah jalan kami harus memilih. Indonesia adalah masa depan energi terbarukan pemasok terbesar di Asia Tenggara dan dunia,” ujarnya.