Suara.com - Pada tanggal 16 Agustus 2022 kemarin, Presiden Joko Widodo atas nama pemerintah secara resmi telah menyampaikan Nota Keuangan APBN 2023. Pada bulan bulan sebelumnya, Badan Anggaran DPR bersama Menteri Keuangan, Menteri PPN/Kepala Bappenas, dan Gubernur Bank Indonesia telah melakukan serangkaian pembahasan terkait Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) Tahun 2023.
"Kesepakatan Banggar DPR dengan Pemerintah tentang KEM PPKF Tahun 2023 yang diputuskan pada Juni 2022 lalu telah menjadi dasar pemerintah menyusun NK RAPBN 2023. Keseluruhan landasan pikir, arah kebijakan, atribusi dan distribusi anggaran yang dituangkan pemerintah ke NK RAPBN 2023 sebagai cerminan dari kesepakatan KEM PPKF antara Banggar DPR dengan pemerintah," kata Ketua Badan Anggaran DPR, MH Said Abdullah.
Banggar DPR memiliki pandangan yang sejalan dengan pemerintah dalam melihat tantangan yang kemungkinan kita hadapi pada tahun depan.
1) Inflasi tinggi disejumlah kawasan, bahkan negara negara maju (Eropa, Amerika Serikat, Kanada, Turki, dll) menahan tingkat konsumsi global. Tertahannya tingkat konsumsi global berdampak pada tingkat pertumbuhan ekonomi dunia. Per April 2022 lalu, IMF telah mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun 2023 dari 3,6 persen menjadi 2,9 persen. Sedangkan Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia pada kisaran 3,2 persen.
Resiko terbesar atas melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia adalah pukulan langsung terhadap perdagangan internasional Indonesia. Menurunnya ekspor dan impor sangat mempengaruhi atas permintaan ekonomi. Resiko serupa potensial kita hadapi pada pasar keuangan dalam negeri. Tanda tanda capotal outflow terus berjalan, khususnya pada negara negara emerging market. Hingga Agustus 2022 ini modal keluar telah mencapai Rp. 126 triliun year to date.
2) Respon kebijakan sejumlah negara maju menahan laju inflasi dengan menaikkan suku bunga acuan secara serial membuat tekanan pada sektor moneter. The Fed Rate setidaknya telah menaikkan suku bunga acuan hingga 225 basis point sejak awal tahun ini. Dua pukulan sekaligus kita terima, pertama tren kenaikan Yield SBN 10 tahun terus merambat naik sejak awal tahun dan memuncak pada Juli lalu yang mencapai 7,30 persen. Kedua kecenderungan nilai tukar rupiah terhadap US Dolar juga naik.
Efek terhadap kedua pukulan pada sektor keuangan ini berkonsekuensi kita harus menanggung biaya dana (cost of fund) yang naik. Kendati rasio utang pemerintah perlu Juli 2022 menunjukkan penurunan ke level 37,91 persen PDB. Tetap saja kecenderungan kita menghadapi kewajiban imbal hasil SBN yang cenderung naik. Permintaan terhadap USD sebagai kewajiban pembayaran utang dan perdagangan, termasuk di pasar keuangan mengakibatkan penyediaan dana untuk USD akan lebih mahal.
3) Situasi ekonomi dunia yang tidak menentu telah meningkatkan banyak negara terjerumus dalam hutang tidak sehat. IMF memprediksikan lebih dari 60 negara akan rontok ekonominya, dan gagal bayar utang. Situasinya kurang lebih sama dengan apa yang dihadapi oleh Sri Lanka saat ini. Revolving Risk naik tajam. Ibarat rumus politik, kehancuran ekonomi bisa berujung pada krisis politik dan keamanan. Oleh sebab itu kita harus mewaspadai situasi ini pada tahun politik mendatang.
4) Perang Ukraina dan Rusia tampaknya belum ada tanda tanda akan berakhir. Karena perang inilah harga komoditas dunia, termasuk energi melambung tinggi. Embargo yang dilakukan Amerika Serikat dan sekutunya terhadap produk produk Rusia yang menjadi rantai pasok global terhenti dengan serta merta. Tidak banyak negara memiliki produk subtitusinya dengan cepat. Supply and demand berjalan pincang, kenaikan harga tidak terhindarkan.
Baca Juga: Apa Itu Nota Keuangan? Pidato yang Dibacakan Jokowi di Peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-77
Saat situasi ekonomi dunia masih terhuyung, Amerika Serikat berulah di Selat Taiwan. Kunjungan Nency Polesy Ketua DPR Amerika Serikat dalam sekejap mengubah Selat Taiwan menjadi perlombaan arsenal militer yang melibatkan Tiongkok disatu pihak, Taiwan, Amerika Serikat, Jepang dan Korea dipihak lainnya. Bila kawasan ini mengalami eskalasi, dampak pukulannya akan lebih terasa pada ekonomi Indonesia, mengingat kesemua negara tersebut berkontribusi 47 persen dari total perdagangan internasional kita pada tahun lalu. Kita harus mewaspadai kemungkinan eskalasi di kawasan ini.