Suara.com - Di berbagai negara seperti Inggris, Jepang, dan Selandia Baru, produk alternatif tembakau telah dimanfaatkan secara maksimal untuk menurunkan prevalensi perokok. Hasilnya, jumlah perokok di negara-negara tersebut menurun signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Di Jepang misalkan tercatat mengalami penurunan tren rawat inap akibat penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), eksaserbasi/perburukan gejala PPOK, dan penyakit jantung iskemik (IHD) pasca kehadiran produk tembakau yang dipanaskan atau heated tobacco product (HTP).
Penelitian jangka panjang tersebut dilakukan terhadap orang dewasa berusia 20-74 tahun dengan waktu rawat inap pada Januari 2010 hingga Desember 2019. Penelitian dijalankan pada lima tahun sebelum dan empat tahun sesudah produk tembakau yang dipanaskan pertama kali dikenalkan di Jepang.
Japan Medical Data Center (JMDC), penyedia layanan data statistik medis Jepang yang menjadi sumber data, mencatat jumlah rawat inap mengalami peningkatan dari 53.481 pada 2010 menjadi 450.761 pada 2019. Dengan rata-rata peningkatan tertinggi terjadi pada 2012 ke 2013 sebesar 48,98 persen, 2011 ke 2012 sebesar 43,01 persen, dan 2014 ke 2015 sebesar 39,44 persen. Setelah 2015, rata-rata peningkatan rawat inap ada di angka 17,05 persen.
Baca Juga: Angka Perokok Anak-Anak Masih Tinggi, Revisi Aturan Tentang Produk Tembakau Perlu Dilakukan
Penelitian yang dilakukan oleh Angela van der Plas, Meagan Antunes, Alba Romero-Kauss, Matthew Hankis, dan Annie Heremans ini mencatat bahwa jumlah rawat inap akibat PPOK mengalami penurunan sebesar 0,1 persen-0,2 persen jika dibandingkan dengan waktu sebelum pengenalan produk tembakau yang dipanaskan.
“Rata-rata jumlah rawat inap karena PPOK sebesar 1,93 persen dari total rawat inap, dengan tren fluktuatif mulai dari 1,83 persen pada tahun 2013 menjadi 2,08 persen pada 2016, kemudian menurun menjadi 1,82 persen pada 2019,” ujar temuan Frontiers dikutip Suara.com Rabu (17/8/2022).
Sementara itu, angka rawat inap karena eksaserbasi PPOK ditambah infeksi saluran pernapasan bawah atau lower respiratory tract infections (LRTI) tercatat mengalami peningkatan dari 0,4 persen pada 2013 dan menjadi 0,48 persen di dua tahun berikutnya.
Kemudian, pada 2019 menurun menjadi 0,41 persen dengan rata-rata 0,43 persen. Adapun, rata-rata tren rawat inap karena penyakit jantung iskemik juga turun dari 4,49 persen pada 2016 menjadi 4,02 persen pada 2019.
Dari data di atas, bisa dilihat bahwa kendati jumlah rawat inap secara keseluruhan mengalami peningkatan, tetapi jumlah rawat inap karena PPOK, eksaserbasi PPOK, dan penyakit jantung iskemik malah mengalami tren sebaliknya setelah produk tembakau yang dipanaskan hadir di Jepang.
Baca Juga: FIBA Asia Cup 2022: Selandia Baru Rebut Peringkat Ketiga Setelah Bangkit Kalahkan Yordania
Analisis tren rawat inap ini dilakukan dengan tujuan mereplikasi analisis Real-World Data (RWD) yang telah dilakukan sebelumnya. Analisis RWD ini menilai dampak kehadiran produk tembakau yang dipanaskan ke pasar Jepang dengan menggunakan data dari Medical Data Vision (MDV), sebuah penyedia data kesehatan di Jepang.
Pasca penelitian di Jepang, para peneliti pun menyarankan agar riset serupa bisa dilakukan di negara-negara lain, produk tembakau yang dipanaskan sudah tersedia dan dimanfaatkan.