Suara.com - Suranjana Tewari
Korensponden BBC untuk isu bisnis di kawasan Asia
"Pembangunan berhenti, cicilan berhenti. Lanjutkan pembangunan dan pembayaran pun akan berlanjut!"
Pernyataan itu adalah seruan pada demonstrasi di China yang diikuti oleh orang-orang yang telah membeli apartemen. Mereka menyampaikan kemarahan atas pembangunan yang tak kunjung tuntas.
Ratusan orang berhenti membayar cicilan pelunasan properti mereka. Ini merupakan sebuah langkah radikal di China, negara yang tidak memberi toleransi pada perbedaan pendapat.
Pasangan muda yang pindah ke Zhengzhou mengatakan kepada BBC, setelah mereka membayar uang muka pada tahun lalu, pengembang properti mengundurkan diri sehingga pembangunan pun terhenti.
"Saya telah membayangkan berkali-kali kegembiraan tinggal di rumah baru, tapi sekarang semuanya terasa konyol," kata perempuan yang tidak ingin disebutkan namanya itu.
Seorang wanita berusia 20-an tahun yang juga membeli rumah di Zhengzhou mengatakan kepada BBC bahwa dia juga siap untuk berhenti membayar cicilan rumahnya. "Ketika proyek dilanjutkan sepenuhnya, saya akan lanjut membayar," ucapnya.
Baca juga:
Baca Juga: Perusahaan Pengembang Properti di Sidoarjo Ini Diduga Salahgunakan Uang Negara Rp 200 Miliar
Banyak dari orang-orang ini sebenarnya mampu membayar cicilan, tapi memilih untuk menangguhkan pembayaran. Kondisi ini berbeda dengan krisis properti Amerika Serikat pada tahun 2007, yang dipicu gagal bayar oleh para peminjam berisiko tinggi.
Mereka telah membeli rumah di sekitar 320 proyek di seluruh negeri, menurut perkiraan yang bersumber dari situs Github. Orang-orang ini mengunggah keputusan mereka. Namun tidak jelas berapa banyak orang yang benar-benar berhenti membayar cicilan properti.
Pinjaman yang diboikot bisa berjumlah US$145 miliar (sekitar Rp 2.156 triliun), menurut perkiraan S&P Global. Lembaga lain mengatakan angka itu bisa lebih tinggi.
Aksi para pembeli properti ini telah mendapat perhatian pihak berwenang, di tengah pasar properti yang berada di bawah tekanan ekonomi yang melambat serta krisis uang tunai.
Lebih lagi, hal itu menandakan kurangnya kepercayaan terhadap salah satu pilar utama perekonomian di China, yang merupakan ekonomi terbesar kedua di dunia.
"Boikot hipotek, didorong oleh sentimen yang memburuk terhadap properti, adalah ancaman yang sangat serius terhadap posisi keuangan sektor ini," kata lembaga riset Oxford Economics, dalam sebuah catatan baru-baru ini.
Mengapa krisis properti China krusial?
Sektor properti China mencakup sepertiga dari keluaran ekonomi negara itu. Sektor tersebut mencakup rumah, kontrakan, dan layanan perantara seperti industri yang memproduksi perabot rumah tangga; dan bahan konstruksi.
Tetapi ekonomi China telah melambat, pada kuartal terakhir hanya tumbuh 0,4% dibandingkan tahun sebelumnya. Sejumlah ekonom memperkirakan tidak akan ada pertumbuhan tahun ini.
Ini sebagian besar karena strategi nol-Covid Beijing - karantina wilayah yang berulang dan pembatasan berkelanjutan telah memengaruhi pendapatan, yang kemudian berdampak pada tabungan dan investasi.
Ukuran ekonomi China yang besar berarti bahwa gangguan di pasar kunci – seperti pasar properti - dapat memengaruhi sistem keuangan global.
Para ahli kini khawatir bank tidak akan memberi pinjaman jika sektor properti mulai lesu.
"Itu semua akan tergantung pada kebijakan," kata Ding Shuang, kepala penelitian ekonomi China di Standard Chartered. "Tidak seperti di bagian lain dunia di mana gelembung properti pecah karena kondisi pasar, ini disebabkan oleh pemerintah."
Tiga puluh perusahaan properti telah melewatkan pembayaran utang luar negeri. Evergrande, yang tahun lalu gagal membayar utang $300 miliar, adalah korban paling terkenal. S&P telah memperingatkan bahwa jika penjualan tidak meningkat, lebih banyak perusahaan dapat terdampak.
Permintaan rumah juga tidak meningkat karena China mengalami perubahan demografis dengan urbanisasi dan pertumbuhan penduduk yang melambat.
"Masalah mendasar adalah bahwa kita telah mencapai titik balik di pasar perumahan di China," kata Julian Evans-Pritchard, ekonom senior China di Capital Economics.
Bagaimana bisa sampai pada titik ini?
Properti menyumbang sekitar 70% dari kekayaan pribadi di China. Pembeli properti sering kali membayar di muka untuk proyek yang belum selesai.
Penjualan di muka ini mencakup 70%-80% dari penjualan rumah baru di China, kata Evans-Pritchard. Dia berkata, pengembang properti membutuhkan uang itu karena mereka menggunakannya untuk mendanai beberapa proyek sekaligus.
Namun banyak kaum muda China dan orang-orang dari kelas menengah tidak lagi berinvestasi di properti, kemungkinan karena ekonomi yang lemah, kehilangan pekerjaan dan pemotongan gaji. Sekarang ada juga ketakutan bahwa pengembang mungkin tidak menyelesaikan proyek.
"Itu bagian dari masalah saat ini. Pengembang mengandalkan uang yang masuk, dan penjualan itu tidak terjadi lagi," kata Evans-Pritchard.
Pinjaman senilai lebih dari US$220 miliar (Rp3.272 triliun) dapat dikaitkan dengan proyek-proyek yang belum selesai, menurut kelompok perbankan ANZ. Dan kredit - sumber utama uang tunai di tahun-tahun jaya sebelumnya - juga telah mengering.
Pada tahun 2020, pemerintah China memperkenalkan "tiga garis merah" - kebijakan akuntansi untuk membatasi pinjaman yang bisa diakses pengembang.
Kebijakan itu memotong pendanaan. Kurangnya kepercayaan terhadap pasar properti juga telah memengaruhi kesediaan bank untuk memberikan pinjaman kepada perusahaan properti.
Apa yang dilakukan pemerintah?
Pemerintah China menempatkan tanggung jawab pada pemerintah daerah - mereka menawarkan uang muka lebih kecil, potongan pajak dan subsidi tunai untuk pembeli rumah, dan dana bantuan untuk pengembang. Tapi dampaknya kas pemerintah daerah akan terpukul.
"Saya pikir inilah saatnya bagi pemerintah pusat dan regulator untuk turun tangan," kata Ding. "Pada titik tertentu mereka akan masuk untuk mengatasi masalah beberapa perusahaan. Sektor ini terlalu penting bagi perekonomian."
The Financial Times baru-baru ini melaporkan bahwa China mengeluarkan US$148 miliar (Rp2.201 triliun) pinjaman untuk membantu pengembang properti.
Bloomberg melaporkan bahwa pemegang hipotek dapat menangguhkan pembayaran tanpa itu memengaruhi nilai kredit mereka.
Namun dalam catatan baru-baru ini, Oxford Economics mengatakan setiap intervensi pemerintah pada properti dan infrastruktur dapat memberikan dorongan jangka pendek tetapi "hal itu tidak ideal untuk pertumbuhan jangka panjang China karena pemerintah dan sektor keuangan dipaksa untuk membantu mempertahankan industri properti yang tidak produktif (dan gagal).
Ini juga bukan hanya krisis keuangan. Boikot hipotek berisiko menjadi masalah sosial yang serius, kata Ding.
Dan itu bisa menjadi masalah bagi Presiden Xi Jinping menjelang kongres partai penting akhir tahun ini di mana ia diperkirakan akan mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga yang bersejarah.
Apa yang terjadi selanjutnya?
Para analis mengatakan bailout (dana talangan) yang dilaporkan mungkin tidak akan cukup. Capital Economics memperkirakan perusahaan membutuhkan US$444 miliar (Rp6.603 triliun) hanya untuk menyelesaikan proyek yang dihentikan.
Juga tidak jelas apakah bank, terutama bank pedesaan yang lebih kecil, dapat menyerap biaya akibat mogok hipotek.
Bahkan jika pembangunan dimulai kembali, banyak pengembang mungkin tidak bertahan karena penjualan rumah tidak mungkin menopang sentimen. Penjualan di 100 pengembang top China turun 39,7% pada Juli dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, menurut China Real Estate Information Corp (CRIC).
Krisis ini merupakan indikasi paling jelas bahwa ekonomi China berada di sebuah persimpangan.
"Pemerintah mencoba yang terbaik untuk menemukan sumber pertumbuhan baru tetapi itu akan menjadi tantangan karena ekonomi selama tiga dekade terakhir sangat bergantung pada properti, investasi infrastruktur, dan ekspor," kata Evans-Pritchard.
"Era pertumbuhan yang sangat cepat di China mungkin sudah berakhir dan itu terlihat jelas di sektor properti saat ini," ujarnya.