Suara.com - Digitalisasi yang pesat berpotensi memilki dampak negatif yakni maraknya Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) meski memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
“Kalau digitalisasi tidak mau disalahgunakan oleh pelaku TPPU, regulasi tidak boleh abu-abu, lembaga pengawas harus jelas, penegakan hukum harus memadai. Kalau tidak digitalisasi hanya akan mendisrupsi perekonomian Indonesia,” kata Ivan dalam webinar “Menuju Masyarakat Cashless” yang dipantau di Jakarta, Rabu (3/8/2022).
Para pelaku TPPU saat ini menurutnya sudah memaksimalkan produk keuangan berbasis digital seperti bitcoin sehingga sulit dideteksi, terlebih, di Indonesia bitcoin dianggap sebagai aset yang baru diatur oleh Bappebti.
“PPATK perlu diutilisasi agar bisa mendeteksi TPPU yang memanfaatkan perkembangan digital dan agar perbankan juga bisa melakukan pelaporan kepada PPATK,” kata dia.
Selain itu, transaksi TPPU dalam bentuk tunai juga masih dilakukan sehingga PPATK pernah meminta pembatasan transaksi tunai meski hal ini belum diberlakukan.
“PPATK pernah berupaya mendorong agar RUU tersebut disahkan, dengan demikian apabila terdapat pembelian tanah, pembayaran cash cukup Rp25 juta, sisanya menggunakan sistem seperti perbankan,” katanya.
Adapun PPATK saat ini menerima tidak kurang dari 50 ribu laporan transaksi per jam dimana lebih dari 80 transaksi berupa transaksi tunai.
Pada 2020, PPATK menerima 1,37 juta laporan transaksi individu senilai Rp19,38 ribu triliun dan sekitar 4 juta laporan korporasi dengan nilai berkisar Rp13 ribu triliun.
Baca Juga: KPK Sita Aset Bupati Probolinggo Nonaktif Mencapai Rp 104,8 Miliar