Suara.com - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menetapkan batasan produksi baru dalam Sigaret Kelembak Kemenyan (KLM).
Penetapan itu tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 109/PMK.010/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris.
Keputusan Sri Mulyani dinilai sebagai langkah tepat mengoptimalkan penerimaan negara, sekaligus melindungi pabrikan kecil.
Kebijakan sejenis semestinya bisa berlaku bagi rokok biasa, khususnya agar peran cukai hasil tembakau (CHT) sebagai instrumen pengendalian konsumsi bisa tercapai.
Ahli Kebijakan dan Keuangan Publik Deddi Nordiawan mengatakan, struktur tarif CHT saat ini memiliki celah yang bisa dimanfaatkan untuk pabrikan besar dan maupun asing membayar tarif yang lebih murah.
"Ini yang membuat penerimaan negara kurang optimal dan konsumsi rokok sulit terkendali karena banyaknya rokok murah. Padahal Indonesia sedang membutuhkan biaya yang besar untuk pemulihan ekonomi dan berjuang mengendalikan konsumsi," ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Senin (1/8/2022).
Ia menilai, optimalisasi kebijakan cukai semestinya tidak hanya sebatas tarif dan harga, melainkan keseluruhan struktur cukai itu.
Deddi menyebut, pemerintah telah mampu menetapkan perbedaan pabrikan besar dengan pabrikan kecil dalam produksi KLM secara jelas.
Apalagi, pemerintah berani menetapkan batasan produksi kelompok cukai KLM tertinggi hanya 4 juta batang per tahun.
Baca Juga: Angka Perokok Anak-Anak Masih Tinggi, Revisi Aturan Tentang Produk Tembakau Perlu Dilakukan
"Ini merupakan kebijakan yang realistis untuk pabrikan kecil KLM, hal yang sama seharusnya dapat diterapkan di kebijakan cukai rokok biasa," kata dia.