Jepang kala itu bahkan sudah mengeluarkan modal sebesar 3,5 juta dolar AS untuk mendanai studi kelayakan. Namun, tiba-tiba, China muncul dengan klaim studi kelayakan untuk proyek yang sama.
Mantan Menteri BUMN Rini Soemarno jadi salah satu pihak yang amat mendukung China sebagai 'penggarap' proyek kereta cepat, dibandingkan Jepang.
Presiden Jokowi lantas memilih China yang justru menawarkan bunga pinjaman lebih tinggi daripada proposal dari Jepang.
Saat ini, pertimbangan pemerintah Indonesia lantaran China berjanji proyek pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung tidak akan menggunakan uang APBN melainkan melalui skema murni business to business (B to B) antar BUMN kedua negara.
Namun, kini proyek ambisius itu justru melenceng dari perjanjian kedua negara karena biayanya yang membengkak hingga berpotensi membebani APBN.