Suara.com - Kegiatan Pertambangan Tambang Tanpa Izin (PETI) harus diberantas secara tuntas dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan juga kepolisian. Tidak hanya untuk menegakkan peraturan, namun juga untuk mendapatkan penerimaan negara secara lebih optimal.
Demikian benang merah dari Webinar Solusi Kebersamaan E2S (SUKSE2S) dengan tema "Berantas Tuntas Pertambangan Tanpa Izin". Hadir sebagai pembicara Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia, Inspektur Tambang Ahli Madya dan Ketua Kelompok Kerja Pertambangan Rakyat dan Pembinaan Aspek Teknik dan Lingkungan Direktorat Teknik dan Lingkungan Mineral Ditjen Minerba Kementerian ESDM Antonius Agung Setiawan, Kepala Unit 3/Subdit V Sumber Daya Alam Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri Komisaris (Polisi) Eko Susanda, dan Pakar Hukum Pertambangan dari Universitas Tarumanegara Ahmad Redi.
Hendra Sinadia menegaskan bahwa penyelesaian masalah PETI harus total football. Governance dari perusahaan, hubungan perusahaan dengan masyarakat sangat berhubungan dengan maraknya kegiatan PETI karena akarnya adalah kesenjangan sosial.
“Yang kami harapkan adalah bagaimana kita bisa memanfaatkan berkah dari lonjakan harga (komoditas), karena sangat krusial bagi cadangan sumber daya minerba dan investasi,” kata Hendra.
Baca Juga: Mardani Maming Ditahan KPK
Menurut dia, PETI seringkali marak terjadi ketika ada lonjakan harga komoditas. Disparitas harga tinggi memberikan peluang bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Banyak kegiatan di titik pertambangan tanpa izin di sektor mineral. Meski banyak di konsesi penambangan mineral dibanding batu bara, namun nilai kerugian lebih masif di batu bara.
“PETI tidak hanya merugikan penambang, tapi juga negara dan masyarakat,” kata dia.
Meski dalam beberapa bulan terakhir harga batu bara melandai, praktis sejak Oktober 2021 lonjakan harga sudah diatas rata-rata. Dengan kondisi harga yang terjadi saat ini dikhawatirkan kegiatan PETI akan makin marak ke depannya.
“Jadi perlu diselesaikan secara permanen. Ini bukan hanya keinginan pemerintah saja, tapi pelaku usaha agar kegiatan PETI bisa diselesaikan secara permanen,” kata Hendra.
Antonius Agung Setiawan mengatakan bahwa Kementerian ESDM tidak menutup mata terhadap merebaknya PETI, meski aturannya hanya ada di UU No. 3/2020.
Baca Juga: Kunjungi Proyek Gas JTB, Menteri ESDM Semangati Tim Menuju Fase Produksi
“Hal-hal berupa formalisasi supaya kegiatan pertambangan ini legal dan berpihak pada rakyat akan terus diupayakan dalam rangka meningkatkan kemakmuran bangsa dan negara,” kata dia.
Antonius mengatakan, PETI disebabkan adanya keterbatasan lapangan kerja, desakan ekonomi, tidak diperlukan syarat pendidikan, tergiur hasil yang instan, dan mudah dikerjakan.
"Pelaku PETI umumnya merupakan masyarakat yang tidak memiliki akses untuk mendapatkan pekerjaan di bidang formal," kata dia.
Menurut Antonius, strategi pemerintah untuk menangani PETI tentunya berlandaskan hukum pertambangan tanpa izin, yakni pasal tindak pidana PETI adalah UU No. 3/2020 jo UU No. 4/2009 pasal 158, 160, 161. Tidak ada dasar hukum lagi selain yang ada di UU tersebut.
"Amunisi dari sisi regulasinya sangat kurang menurut saya. Penafsiran kami adanya kegiatan PETI ini masuk ranah pidana," tegas dia.
Antonius mengungkapkan jika dibandingkan dengan sektor kehutanan atau kelautan, PETI ini sangat berbeda. Di kehutanan ada perangkat untuk mengamankan hutan, demikian juga wilayah laut.
"UU No. 3/2020 bukan UU kewilayahan, tapi UU Pengelolaan untuk mengusahakan minerba," tukasnya
Strategi dan upaya penanganan PETI yang dilakukan Kementerian ESDM, menurut Antonius, dengan melakukan penataan wilayah pertambangan dan regulasi guna mendukung pertambangan berbasis rakyat, meningkatkan peran PPNS dalam pembinaan terhadap pertambangan berbasis rakyat, pendataan dan pemantauan kegiatan PETI oleh inspektur tambang, hingga upaya formalisasi menjadi wilayah pertambangan rakyat dan IPR.
Strategi lain, upaya pemulihan kerusakan lahan bekas PETI, upaya pengendalian peredaran dan penggunaan limbah B3, upaya penegakan hukum, indentifikasi lokasi PETI dengan analisis dan penginderaan jauh.
“Tidak hanya itu, upaya penegakan hukum dilakukan dengan intervensi pemerintah melalui pemberlakuan syarat dokumen penjualan komoditas tambang serta peningkatan pengawasan pemasaran,” katanya.
Pemerintah juga melakukan pemutusan rantai pasok bahan baku dan mata rantai penjualan hasil PETI melalui koordinasi bersama Polri dan Pemda. Penguatan pengawasan oleh PPNS berkoordinasi dengan Polri, dan Gakkum KLHK.
Komisaris Polisi Eko Susanda mengatakan selagi aspek hukumnya jelas, maka melibatkan kepolisian akan sangat mudah. Namun jika aspek hukumnya masih abu-abu itu akan sangat berat.
“Kepolisian jadi ada keraguan juga kalau mau melakukan penegakan hukum pada PETI,” kata dia.
Eko mengatakan dari aspek penegakan hukum, Polri sangat terbatas sumber dayanya. Pasalnya, tidak hanya menangani perkara pertambangan saja, namun ada 55 perkara perundangan yang harus ditangani.
“Kalau semua perkara pertambangan ini harus dihadapkan pada penegakan hukum saja, pasti resource-nya kurang. Memang harus tetap ada penegakan hukum,” kata dia.
Eko menambahkan perlu peran pemerintah untuk mencarikan strategi penyelesaian masalah PETI, meski di sisi lain polisi tetap melakukan penegakan hukum.
“Pemda bisa menyediakan lapangan kerja lain, edukasi ditingkatkan, itu tentu akan lebih baik,” katanya.
Ahmad Redi mengatakan PETI mempunyai karakter khusus, bekerja secara individu bahkan korporasi. Korporasi modusnya itu menambang di luar WIUP-nya karena sudah habis sumber cadangannya.
“Yang hari ini menjadi masalah sosial adalah yang dilakukan kelompok kecil sehingga ada 200-ribu orang yang potensial masuk penjara,” kata dia.
Ada dua faktor yang menurut Redi menjadi penyebab dari PETI, yakni faktor sosial dan hukum. Faktor sosial adalah di mana kegiatan sudah menjadi pekerjaan turunan karena dilakukan secara turun menurun oleh masyarakat setempat. Terdapatnya hubungan yang kurang hamornis antara pertambangan resmi atau berizin dan masyarakat setempat.
“Terjadinya penafsiran keliru tentang reformasi yang diartikan sebagai kebebasan tanpa batas,” kata dia.
Faktor penyebab PETI secara hukum, akibat dari ketidaktahuan masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang pertambangan.
Kelemahan penerapan peraturan di bidang pertambangan tercermin dalam kekurangberpihakan kepada kepentingan masyarakat luas.
“Selain itu, tidak adanya sanksi terhadap pertambangan resmi atau berizin yang tidak memanfaatkan wilayah usahanya (lahan tidur). Kelemahan dalam penegakan hukum dan pengawasan,” tegas Redi.
Dia menekankan pentingnya mendorong pemberantasan PETI secara terus menerus karena isu penyelesaiannya sangat penting untuk pertambangan nasional.
“Satgas perlu dibentuk karena menjadi bentuk keseriusan negara sehingga bisa mendapatkan penerimaan negara dari penambangan legal. SDA adalah karunia Tuhan bagi masyarakat yang ada di sekitar wilayah tambang,” kata dia.