Suara.com - Pemerintah diminta adil dan bijaksana dalam menyusun kebijakan terkait industri tembakau, salah satunya soal Rancangan Perda Kawasan Tanpa Rokok (Raperda KTR) DKI Jakarta.
Untuk diketahui, pajak rokok menyumbang Rp339 miliar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) DKI Jakarta selama semester I 2022, atau lebih besar dibandingkan pajak parkir yang hanya Rp191 miliar.
Sekjen Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisono mengatakan, sebetulnya tidak anti dengan regulasi, tetapi yang menjadi persoalan dan menimbulkan pertanyaan adalah proses perjalanan pembuatan kebijakan dan substansi kebijakan itu sendiri.
"AMTI menyikapi perihal seluruh regulasi ini, implementasi masih banyak cacatnya. Ini yang perlu dievaluasi," kata Hananto dalam sebuah diskusi di Jakarta pada Rabu (27/7/2022).
Baca Juga: Rokok Masih Jadi Penyumbang Kemiskinan Terbesar di Sumbar, Masyarakat Pilih Merokok Ketimbang Makan
Menurutnya, DKI Jakarta sudah memiliki banyak berbagai peraturan terkait larangan produk tembakau, penjualan produk tembakau, pajak rokok sampai yang terbaru Sergub DKI No 8 Tahun 2021, seluruh kebijakan tersebut dinilai makin akan menambah sulit industri tembakau dalam negeri.
"Nah, sekarang publik dipaksa lagi dengan kehadiran Ranperda KTR DKI Jakarta yang terkesan kejar deadline," ujar dia.
Sementara itu, di tempat yang sama, Ketua Fraksi PDI Perjuangan Gembong Warsono menyadari, pembentukan dan materi muatan Raperda KTR DKI Jakarta wajib berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dalam hal ini, harus sesuai dengan prinsip aturan yang tertuang di atasnya.
"Secara proses, penyusunan Raperda KTR DKI Jakarta harus disusun secara matang, tidak bisa dikebut. Karena, naskah akademiknya belum masuk ke DPRD DKI Jakarta. Secara rasional tahapannya panjang," katanya.
Banyaknya peraturan yang telah dimiliki DKI Jakarta, lanjut Gembong, tentu juga mempengaruhi ketaatan masyarakat. Sebagai perwakilan rakyat, Gembong menuturkan dirinya perlu mendapatkan masukan dari semua pihak.
Baca Juga: Garis Kemiskinan Sumsel Naik 4,71 Persen Awal Tahun Ini, Dipicu Harga Beras Dan Rokok
"Mulai dari aktivitas, hak dan kewajiban konsumen, serta seluruh pihak yang terlibat membutuhkan payung hukum yang jelas,. Tujuan utamanya adalah melahirkan perda yang berkualitas. Butuh keterlibatan semua pihak di dalamnya, jangan ada yang dimarjinalkan atau dirugikan,"tambah Gembong.
Ary Fatanen, Ketua Divisi Advokasi dan Pendidikan Konsumen, Pakta Konsumen menambahkan Raperda ini meski mengedepankan unsur independensi, partisipatif, keterbukaan dan keberimbangan.
Pasalnya kata dia, sumbangan pajak rokok untuk di wilayah DKI Jakarta sendiri cukup tinggi.
"Untuk diketahui, pajak rokok menyumbang Rp 339,63 miliar terhadap PAD DKI Jakarta di semester I tahun ini. Secara nilai lebih besar dari pada pajak parkir sebesar Rp191,68 miliar," kata Ary.
Oleh karena itu sumbangsih tembakau bagi PAD Jakarta cukup signifikan, sehingga keterlibatan konsumen (publik) wajib diikutsertakan dan diberi akses keterbukaan dalam penyusunan kebijakan Ranperda KTR DKI Jakarta," katanya.
Hak konsumen dalam partisipatif kebijakan, lanjut Ary, baik secara konstitusional maupun secara politik, telah dikebiri. Ketika konsumen akan dan telah memenuhi kewajibannya, maka secara seimbang, konsumen juga membutuhkan perlindungan dan pemenuhan hak, seperti hak mendapatkan ruang yang aman dan nyaman.
"Kami konsumen punya hak parisipasi dalam kebijakan publik tapi kami tidak dilibatkan. Kami tidak keberatan ketika aktivitas kami diatur tapi tolong diberi ruang, fasilitas yang sesuai dan akses," katanya.