Ekonomi Global Makin Terguncang Efek Konflik Ukraina, Pengamat: Berdampak ke Indonesia

Jum'at, 22 Juli 2022 | 15:55 WIB
Ekonomi Global Makin Terguncang Efek Konflik Ukraina, Pengamat: Berdampak ke Indonesia
Terminal Petikemas (TPK) Bitung, salah satu TPK yang mulai dioperasikan pada Jumat (1/4/2022) oleh PT Pelindo Terminal Petikemas (SPTP). ANTARA/HO-SPTP
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Inflasi yang kini 'mengurung' sejumlah  negara bukan hanya ancaman beberapa negara saja tapi juga bisa menyebabkan efek domino hingga merembet ke Indonesia.

Pada Juni lalu, inflasi di zona Eropa mencapai 8,6 persen imbas konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina. Lantas, bagaimana kondisi ekonomi Indonesia saat ini?

Penasihat senior lembaga kajian LAB 45, Makmur Keliat mengatakan, kondisi perekonomian dan geopolitik global punya dampak bagi Indonesia.

Sebagai contoh, konflik di Ukraina yang berpengaruh pada pasokan energi dan harga pangan dunia. Tidak main-main, kenaikan harga ini jadi yang paling tinggi dalam 21 tahun terakhir.

Baca Juga: Rupiah Digital Segera Dirilis

"Dari Januari 2022 sebenarnya sudah terlihat tren kenaikan energi meningkat ke atas," jelas Makmur dalam diskusi virtual LAB 45 bertajuk "Dampak Krisis Ekonomi Global terhadap Stabilitas Politik: Berkaca dari Eropa dan Sri Lanka", yang dipantau Suara.com pada Jumat (22/7/2022).

Tren kenaikan harga pangan dan energi itu, lanjut Makmur, menjadi indikator dari banyak laporan di tingkat internasional bahwa ekonomi dunia saat ini sedang mengalami krisis.

"Kita bisa lihat peningkatannya luar biasa, saya kira mudah-mudahan bisa menurun seterusnya. Tetapi saya tak bisa berharap banyak karena perang terus berlanjut," ujar dia.

Menurut Makmur, di tengah situasi krisis ekonomi global, Indonesia diharapkan membuat kerangka regulasi mengenai cadangan energi dan pangan, serta dalam membuat proyeksi ke depan harus selalu mempertimbangkan geopolitical risk.

“Jadi ekonomi makro tidak bisa atau tidak berada dalam ruang hampa geopolitical. Maka asesmen ke depan harus memasukkan variabel geopolitical risk” ujarnya.

Baca Juga: Kasus Meme Stupa Mirip Jokowi, Roy Suryo Resmi Jadi Tersangka

Indonesia Masih Jauh dari Resesi

Dari sudut pandang ekonom, menurut Direktur Eksekutif Next Policy Fithra Faisal Hastiadi, inflasi yang dihadapi Indonesia akibat pandemi serta krisis global tidak seperti yang dialami negara lain.

Indonesia, jelas dia, dari sisi komoditas memiliki stok yang berlebih seperti batu bara dan produk pertanian.

"Dari situ kita lihat kondisi over supply, dari input secara umum over supply, pupuk kita masih tersedia, bahkan mau diekspor. Bahkan Pak Jokowi menargetkan swasembada beras," kata dia.

Namun, dia mengingatkan jika tren ekspor komoditas terus dilakukan lantaran berlebihnya pasokan bakal berpotensi menyebabkan kelangkaan di akhir tahun 2022 hingga 2023.

Terkait dengan kemungkinan resesi akibat krisis, Indonesia memiliki kemungkinan kecil. Survei yang dilakukan para ekonom menyebut Indonesia hanya memiliki kemungkinan 3 persen mengalami resesi dibandingkan dengan Sri Lanka yang mencapai 85 persen.

"Tapi pak Jokowi ada benarnya, ini kita harus waspada," jelas dia.

Dari sisi politik, Dekan Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Wawan Mas'udi mengatakan fenomena mundurnya PM Inggris Boris Johnson dan Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa, menjadi pembelajaran bahwa kemampuan dari sebuah rezim untuk bisa menjaga legitimasi publik adalah kunci untuk mempertahankan rezim itu sendiri.

"Sifat yang tidak konstan namun fleksibel ini sangat menentukan arah policy ini dibawa ke mana," pungkasnya.

Wawan Mas'udi mengatakan, legitimasi bersumber dari keseimbangan antara sistem politik dan kebutuhan rakyat di sebuah negara. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI