Suara.com - Survey Bloomberg memasukkan Indonesia dalam urutan 14 dari 15 negara yang rentan alami resesi ekonomi. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun sedikit percaya diri bahwa Indonesia tidak akan bernasib sama dengan Sri Lanka yang mengalami resesi.
Terkjait itu, Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat punya pandangan lain terkait masalah ini, dia bilang narasi yang dilakukan oleh pihak pemerintah tidak fair atau adil.
"Karena merekalah yang meramu kebijakan ekonomi, dan mereka juga yang mengklaim hasilnya. Dan tentunya itu tidak fair, karena yang meramu kebijakan tentunya akan selalu mengatakan bahwa apapun yang mereka ramu pasti yang terbaik," kata Hidayat dalam keterangan persnya, Minggu (17/7/2022).
Sebelumnya Sri Mulyani mengatakan beberapa indikator ekonomi Indonesia menunjukkan kondisi yang kuat, bahkan jauh lebih baik dibandingkan dengan negara Asia lainnya.
Baca Juga: Daftar Pemimpin Negara Resign Selain Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa
"Resiko (resesi) Indonesia hanya 3 persen dan Indonesia negara yang cukup kuat. Tapi itu adalah half truth (separuh kebenaran) karena kenyataannya dalam ekoomi itu tidak ada yang bisa mengklaim bahwa dia 100 persen benar," ucap Hidayat.
Menurut dia seharusnya pemerintah melihat data-data yang kredibel. Indonesia mempunyai trajektori yang sama seperti Sri Lanka. Srilanka mempunyai banyak pengeluaran, berani berutang untuk membiayai APBN dan pembangunan, tapi melupakan pendapatan/penerimaan negara. Bahkan kesalahan fatalnya adalah memangkas rate pajak dari 10 persen menjadi 8 persen.
Dipaparkan Hidayat beberapa extens Indonesia mempunyai trajektori yang sama. Di antaranya adalah dari Perkembangan Tax Ratio terhadap PDB mengalami penurunan secara terus menerus dari tahun 2011 dimana Indonesia berada di double digit 11,16 perse dan turun terus hingga single digit di tahun ini di kisaran 9,30 persen. Dan ini adalah tax ratio terendah diantara negara-negara ASEAN.
"Artinya kita perlu waspadai bagaimana tax ratio ini akan mempersempit ruang gerak Indonesia untuk membayar utang yang akhirnya menambah kerentanan Indonesia sebagai negara. Artinya Indonesia melakukan trajektori yang sama seprti halnya Sri Lanka," katanya.
Sehingga kata dia, Indonesia adalah satu-satunya negara ASEAN yang tax ratio terhadap PDB-nya hanya single digit. Artinya penerimaan negara lebih rendah dari negara lain sementara di antara negara ASEAN, Indonesia yang jor-joran melakukan projek pembangunan infrastruktur besar-besaran salah satunya pembangunan IKN, apalagi dilakukan di tahun-tahun pasca pandemi covid yang masih harus recovery.
Baca Juga: Menkeu Sri Mulyani: Investasi Swasta di Sektor Hijau Meningkat 10 Kali Lipat
"Penerimaan negara itu harusnya dikumpulkan dari produktivitas Industrialisasinya dan Indonesia punya kerentanan yang jarang dibicarakan orang bahwa Indonesia sedang mengalami apa yang disebut deindustrialisasi yaitu peran manufaktur kepada PDB terus mengalami penurunan," paparnya.
Dari sumber BPS tentang peranan manufaktur terhadap PDB yang terus turun. Tahun 2001 Indonesia berada di 29 persen jauh sekali dari zaman orde baru sehingga dulu disebut bahwa Indonesia sebagai Macan Asia. Artinya Indonesia mengalami deindustrialisasi, jika Indonesia ingin menjadi negara yang kuat harusnya angka ini yang diperbesar.
Indonesia harus sangat ekstra waspada manakala Sri Lanka ini bisa terjadi pada Indonesia. Bisa dilihat dari Debt Service Ratio (DSR), Total Debt Service (% export barang, jasa, dan pendapatan utama) Indonesia dengan Sri Lanka mempunyai trajektori yang sama. Sri Lanka DSR nya berada di 39,3 persem dan Indonesia di 36,7 persen, ini yang harus diwaspadai.
"Jangan dilihat dari PDB saja, angka DSR dibandingkan PDB ini seringkali missleading. Seperti hutang publik di tahun 1977 terlihat masih aman, tapi ternyata 97 dan 98 terjadi krisis yang parah. Itu karena Indonesia tidak menghitung DSR. Jadi ini bukan pernyataan pesimis, tapi Indonesia harus benar-benar waspada," katanya.