Suara.com - Keputusan Kemenkeu menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 12 persen untuk tahun 2022 jadi sorotan sejumlah pihak, terutama kalangan lingkaran industri tembakau.
Keputusan ini diterapkan bersama simplifikasi struktur tarif cukai rokok dari sebelumnya 10 layer menjadi 8 layer yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 192 Tahun 2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris.
Bahkan, Menkeu Sri Mulyani dikabarkan akan kembali melanjutkan kebijakan simplifikasi hingga menjadi 5 layer, yang berarti menyangkut golongan Sigaret Kretek Mesin (SKM) serta Sigaret Putih Mesin (SPM); penyatuan Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan 1A dan 1 B; dan penurunan batas kuota dari 3 juta batang ke 2 juta batang.
Terkait hal ini, Ketua Gabungan Pabrik Rokok (Gapero) Surabaya Sulami Bahar menegaskan pihaknya menolak rencana pemerintah tersebut.
Baca Juga: Roadmap Industri Hasil Tembakau Nasional Harus Berpihak Pada Dunia Usaha
Ia beralasan, kebijakan itu akan semakin mempersulit para pelaku industri tembakau kecil dalam melanjutkan usahanya.
"Dampaknya akan terjadi banyaknya perusahaan rokok yang kelimpungan. Sekarang beda dari tarif cukai antara golongan 1A dengan 1B itu cukup signifikan. Artinya, di situ kalau digabung jadi satu yang golongan 1B akan naik tarifnya menuju golongan 1A. Apalagi kalau golongan 1A dinaikkan berarti kan naiknya dua kali," kata Sulami.
Menurut dia, PMK Nomor 192 Tahun 2021 masih memberatkan pelaku industri tembakau menengah ke bawah karena membuat produksi rokok menurun.
"(PMK Nomor 192 Tahun 2021) itu kenaikan tarif cukai 12 persen. Nah, dampaknya untuk industri mengalami penurunan produksi karena harganya luar biasa," ujarnya.
Tak hanya pengusaha, PMK Nomor 192 Tahun 2021 menurut dia akan mencekik para petani tembakau karena pendapatannya semakin berkurang.
Baca Juga: SPG Rokok Tewas Mengenaskan di Kamar Kos Kahuripan, Polisi Temukan Ini Saat Olah TKP
"Jadi kalau sudah kayak begitu pendapatan negara juga berkurang. Ujung-ujungnya, nanti rokok ilegal yang semakin marak, pasti larinya ke sana," ujarnya dikutp dari Warta Ekonomi.
Jika pemerintah peduli pada keberlangsungan industri tembakau, seharusnya para pejabat fokus memberantas rokok ilegal.
"Sebab, keberadaan rokok ilegal telah membuat negara kehilangan pendapatan sekitar Rp 53 triliun," tuturnya.
Terpisah, pakar ekonomi niversitas Negeri Semarang (UNNES) Agus Trihatmoko menduga, kebijakan simplifikasi justru mendorong monopoli dari industri tembakau besar di pasar tembakau.
"Nah, itu bisa terjadi. Karena yang selalu bisa melakukan efisiensi dan investasi yang besar, mereka akan efisien dalam proses produksi, makanya harga dia sangat kompetitif. Itu baru pakai logika bisnis. Ada yang irasional untuk mematikan yang kecil-kecil, perusahaan besar itu jual rugi dulu. Ketika itu terjadi, namanya rokok ini kan menyangkut soal rasa dan selera. Orang ketika sudah beralih ke produk (pemain besar), bisa jadi yang kecil mati dan menengah juga. Oleh sebab itu menjadi sebuah kekhawatiran," ujarnya.
Ia berharap, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengurungkan niat untuk kembali melakukan penyederhanaan tarif cukai rokok tersebut.
"Diurungkan atau ditunda, dilakukan kajian atau riset secara mendalam, ada kebijakan yang ketat. Jadi analisa kami tadi apakah benar atau tidak, buktikan dulu ke masyarakat. Nanti ketemu rumusan yang ideal," kata dia.
Anggota Komisi XI DPR RI Kamrussamad juga satu suara, ia menolak simplifikasi karena dikhawatirkan melemahkan daya saing dan membahayakan pabrikan menengah kecil.
"Terutama dari sisi tenaga kerjanya yang cepat atau lambat akan kehilangan lapangan pekerjaannya. Sebab, mau tidak mau, golongan yang dihilangkan layernya harus naik ke golongan atasnya akibat peraturan, bukan karena kemampuan dan penambahan produksi," ujarnya.