Suara.com - Keputusan investasi PT Telkomsel di PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) senilai USD450 juta dinilai merupakan aksi korporasi wajar dan strategis yang dibutuhkan oleh perusahaan untuk memperkuat pertumbuhan bisnisnya.
Keputusan investasi juga telah melewati berbagai tahapan dalam proses ketat yang melibatkan banyak pihak independen sebelum mendapatkan persetujuan.
Analis Pasar Modal sekaligus CEO Finvesol Consulting Fendi Susiyanto meyakini, proses investasi yang dilakukan oleh Telkomsel di GoTo sudah sesuai prosedur dan mekanisme yang berlaku di kedua perusahaan.
Sementara di sisi Telkomsel, keberadaan Singtel sebagai pemegang saham, tidak akan memberikan lampu hijau jika investasi itu tidak dilakukan secara prudent, penuh kehati-hatian dan memberikan benefit yang optimal kepada perusahaan. Apalagi, Pemerintah Singapura sebagai pemilik Singtel selama ini dikenal tegas dan tidak berkompromi dalam hal pelanggaran terhadap pelaksanaan good corporate governance (GCG).
Baca Juga: Investasi Telkomsel di GoTo Sesuai Prinsip Tata Kelola Perusahaan
Demikian halnya dengan GoTo, Fendi meyakini dengan banyaknya pemegang saham seperti Google, Visa, AIA, Astra International, Blue Bird dan nama-nama besar investor kelas dunia lainnya, tentunya memiliki mekanisme yang ketat dan pasti dalam mengambil keputusan kerjasama investasi.
“Kalau dibaca di Anggaran Dasar GoTo di websitenya, jelas sekali disebutkan bahwa penambahan modal melalui pengeluaran efek bersifat ekuitas, seperti obligasi konversi yang dilakukan oleh Telkomsel ke GoTo, harus dengan persetujuan paling sedikit 2/3 pemegang saham. Mustahil rasanya kerjasama investasi seperti dengan Telkomsel itu hanya diputuskan oleh direksi apalagi seorang komisaris GoTo,” ujar Fendi dalam sebuah diskusi virtual, Rabu (13/7/2022).
Terkait potensi kerugian investasi yang dialami PT Telkom pada kuartal I-2021 sebagai akibat investasi Telkomsel di GoTo, Fendi menilai hal itu adalah mekanisme pasar biasa yang terjadi di pasar modal. Buktinya pada akhir semester I-2022 Telkom justru berpotensi mencatat potensial gain hingga Rp2,7 triliun.
Perhitungannya, dengan asumsi jumlah saham Telkomsel sebanyak 23,7 miliar saham dan harga penutupan saham GoTo pada 30 Juni sebesar Rp388 per saham, maka nilai investasi Telkomsel di GoTo sudah bernilai Rp9,91 triliun. Sementara dengan harga beli saham dikisaran Rp270 per saham, total investasi Telkomsel di GoTo hanya sebesar Rp6,39 triliun.
Menurut Fendi, perusahaan sekelas Telkom dan Telkomsel tidak mungkin berinvestasi dalam jumlah yang besar hanya dengan motif untuk untuk mendapatkan capital gain dari naik turunnya harga saham ataupun dividen secara jangka pendek. Ia meyakini, pasti motifnya menjadi strategic partner yang memiliki tujuan jangka panjang untuk mendukung bisnis inti Telkom Group.
Baca Juga: Gonjang-ganjing Investasi Telkomsel ke GOTO, Begini Penilaian Pengamat
Selain aspek bisnis jangka panjang, investasi yang dilakukan oleh Telkomsel itu sejatinya juga menunjukkan peran dan dukungan BUMN terhadap pengembangan ekonomi digital dan keberpihakan terhadap ekonomi kecil.
“Sebagai ekosistem bisnis yang menaungi lebih dari 16 juta UMKM dan transaksi ratusan triliun per tahun, keberadaan GoTo sangat penting bagi ekonomi Indonesia. Peran BUMN (Badan Usaha Milik Negara) justru akan terasa nyata jika mereka bisa berinvestasi riil dan berdampak ke seluruh pelosok Indonesia seperti di GoTo ini. Mungkin saja ada yang punya kepentingan politik, namun penting untuk tidak mempolitisasi aset strategis seperti ini hanya untuk kepentingan jangka pendek semata, karena momentum yang tepat untuk mengambil keputusan strategis juga sangat penting bagi negeri ini,” tegas Fendi.
Ia menambahkan, dengan semakin terbatasnya ruang pertumbuhan bisnis bagi industri telekomunikasi, langkah Telkomsel masuk ke industri digital diperkirakan akan mampu mendorong kinerja perusahaan tetap tumbuh positif dalam jangka panjang.
Fendi menilai, potensi nilai bisnis dari sinergi antara Telkomsel dengan GoTo sangat besar, yaitu dari sinergi operasional, sinergi pemasaran, sinergi keuangan. Telkomsel membutuhkan ekosistem digital seperti GoTo untuk mendongkrak pemasukan lini bisnis digital dan pertumbuhan bisnis secara keseluruhan.
Sebagai contoh, Telkomsel bisa melakukan cross-selling digital products, layanan data, konten dan iklan digital ke jutaan pengguna ataupun merchant di ekosistem GoTo.
Sementara sebagai salah satu perusahaan digital terbesar dan layanannya menjadi kebutuhan sehari-hari masyarakat Indonesia, GoTo butuh dukungan infrastruktur seperti yang dimiliki oleh Telkomsel. Sinergi ini berpeluang besar memberikan nilai tambah bagi kedua perusaaan secara jangka panjang.
“Jadi sinergi ini sangat tepat, klop karena saling membutuhkan. Inilah yang menjadikan investasi Telkomsel di GoTo menjadi sangat strategis, karena dimensinya untuk berbisnis bersama dalam jangka panjang dengan mengoptimalkan setiap peluang dalam ekosistem,” kata Fendi.
Selama dua tahun masa pandemi, pendapatan perusahaan telekomunikasi secara global hanya naik tipis 3,5 persen pada tahun 2020 dan 2,8 persen pada 2021. Bahkan di beberapa negara seperti Amerika Latin, Jepang dan Korea justru perusahaan-perusahaan telekomunikasinya sudah mengalami pertumbuhan negatif.
“Langkah Telkomsel masuk ke ekosistem digital terbesar di Indonesia seperti GoTo ini merupakan keniscayaan. Sebagai pelaku bisnis mereka (Telkomsel) butuh pasar-pasar baru yang potensial untuk menjamin bisnisnya tetap survive dan tumbuh berkesinambungan,” ujarnya.
Fendi mengungkapkan, di seluruh dunia, banyak perusahaan telekomunikasi telah lebih dulu melakukan strategi seperti yang dilakukan oleh Telkomsel dengan masuk ke industri digital.
Perusahaan telko asal Amerika Serikat (AS) AT&T sudah berinvestasi di industri digital lebih dari 10 tahun silam. Dalam kurun waktu tersebut, AT&T Inc telah berinvestasi hingga senilai USD200 miliar atau Rp2.900 triliun.
Langkah serupa juga ditempuh telko Korea Selatan SK Telecom dengan membentuk usaha e-sports senilai USD93 juta dengan telko Amerika Comcast.