Suara.com - Harga minyak bergerak variatif pada perdagangan Senin (11/7/2022), karena pasar menyeimbangkan ekspektasi penurunan permintaan akibat pengujian massal Covid-19 di China.
Mengutip laman CNBC, Selasa (12/7/2022), minyak mentah berjangka Brent untuk kontrak pengiriman September ditutup naik 8 sen, atau 0,1 persen menjadi USD107,10 per barel.
Sementara itu, patokan Amerika Serikat, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI), turun 70 sen, atau 0,7 persen menjadi menetap di posisi USD104,09 per barel.
Dengan Federal Reserve diperkirakan terus menaikkan suku bunga, open interest di bursa berjangka New York Mercantile Exchange (NYMEX) turun pada 7 Juli ke level terendah sejak Oktober 2015, karena investor mengurangi aset berisiko.
Baca Juga: Harga Minyak Dunia Merangkak Naik Usai Jatuh Lebih Dari 4 Persen Pekan Lalu
Pekan lalu, spekulan minyak memangkas net long futures dan posisi opsi mereka di NYMEX dan Intercontinental Exchanges ke level terendah sejak April 2020.
"Pasar minyak ditarik ke dua arah dengan fundamental fisik yang sangat ketat terhadap kekhawatiran permintaan ke depan dan tanda-tanda kehancuran permintaan yang disebabkan oleh harga," kata analis EBW Analytics.
Pasar diguncang di awal sesi oleh berita bahwa China menemukan kasus pertama dari subvarian Omicron yang sangat menular di Shanghai yang dapat mengarah pada putaran pengujian massal lainnya, yang akan mengurangi permintaan bahan bakar.
Juga memberi tekanan pada minyak adalah kenaikan dolar AS terhadap sekeranjang mata uang lainnya ke level tertinggi sejak Oktober 2002. Dolar yang lebih kuat mengurangi permintaan minyak, karena membuat bahan bakar lebih mahal bagi pembeli yang menggunakan mata uang lain.
Menteri keuangan zona euro mengatakan perang melawan inflasi adalah prioritas saat ini meski pertumbuhan di blok itu melambat, ketika mereka diinformasikan tentang prospek ekonomi yang memburuk oleh Komisi Eropa.
Baca Juga: Pastikan Harga Migor Curah Di Rp 14.000/Liter, Wamendag: Kami Terus Pantau Pasar
Pasar tetap gelisah tentang rencana negara-negara Barat untuk membatasi harga minyak Rusia, dengan Presiden Rusia Vladimir Putin memperingatkan bahwa sanksi lebih lanjut dapat menyebabkan konsekuensi "bencana" di pasar energi global.
JP Morgan mengatakan pasar terjebak antara kekhawatiran atas potensi penghentian pasokan Rusia dan kemungkinan resesi.
"Risiko makro menjadi semakin terpecah. Pengurangan balasan sebesar 3 juta barel per hari dalam ekspor minyak Rusia merupakan ancaman yang kredibel dan jika direalisasikan akan mendorong harga minyak mentah Brent menjadi sekitar USD190," kata bank tersebut.
"Di sisi lain, dampak dari pertumbuhan permintaan yang jauh lebih rendah di bawah skenario resesi akan membuat harga minyak mentah Brent rata-rata sekitar USD90 di bawah resesi yang ringan dan USD78 di bawah skenario penurunan yang lebih parah." Tambah pernyataan bank itu.