Suara.com - Dari rumahnya yang menjulang di atas tebing dan menghadap ke kawasan resor Jimbaran di Bali, Kriss, seorang ekspatriat asal Jerman, dapat melihat panorama bandara internasional yang sempurna dan tak terhalang.
Terdiri dari landasan pacu tunggal yang membentang ke laut, Kriss mengingat bahwa sebelum pandemi, Bali dapat menangani sekitar 700 penerbangan sehari, mengantar lebih dari 6,3 juta wisatawan internasional per tahun ke pulau Bali.
"Lalu, suatu hari ... sama sekali kosong," ungkapnya, seraya menggerakkan tangannya.
Baca juga:
Baca Juga: Bukan Cuma Tujuan Wisata, Bali Juga Siap Jadi Pusat Industri Kesehatan Kelas Dunia
- Presiden Jokowi umumkan bebas karantina di seluruh Indonesia
- Bali kembali dibuka bagi turis asing, sejauh mana kesiapannya?
- ASN 'work from Bali' bisa dongkrak pariwisata yang tengah lesu?
Dia semula memperkirakan itu hanya akan berlangsung beberapa pekan, tetapi faktanya berlangsung selama dua tahun.
Pada tahun 2020, pulau Bali hanya menerima satu juta wisatawan asing, di mana hampir semuanya terjadi sebelum Bali dan seluruh dunia melakukan lockdown pada Maret tahun itu.
Lantas pada 2021, pulau itu dilaporkan hanya dikunjungi 45 orang turis asing. Ya, hanya 45 orang.
Kembali ke bulan Februari lalu, Kriss menyaksikan dengan cemas ketika penumpang internasional pertama yang berjibaku selama 24 bulan menghadapi pandemi, tiba dari Singapura.
Pria ini, yang menjalankan bisnis pemasaran digital dan desain web yang melayani industri pariwisata lokal, merekam kedatangan turis asing tersebut di ponselnya.
Baca Juga: Sarapan di Tengah Danau, Tempat Wisata Bali Ini Punya Suasana Indah ala Swiss
Seperti banyak orang di Bali, dia optimis, terutama setelah Bali menghapus aturan karantina untuk kedatangan luar negeri pada Maret.
Tetapi ketika layar komputer di rumahnya menyebut adanya pengunjung terbaru, dia mengatakan tidak ada alasan untuk merayakannya.
Pada Mei, Bali kedatangan 237.710 turis internasional, naik dari 114.684 orang pada bulan sebelumnya, tetapi setengah dari jumlah pada bulan yang sama pada 2019.
Dan menteri pariwisata Indonesia telah menetapkan target paling realistis bagi Bali untuk menyambut 1,5 juta wisatawan asing pada tahun 2022 secara keseluruhan.
Baca juga:
- Bali tunda kedatangan turis asing sampai 'akhir 2020', pelaku pariwisata 'resah' dan 'prihatin'
- Kisah sebuah desa di Bali yang berupaya bangkit dari keterpurukan ekonomi dengan kembali bertani
- Kasus virus corona masih terus bertambah, Bali terima lagi wisatawan akhir Juli
"Saya pikir itu membutuhkan 10 tahun sebelum Bali kembali ke angka sebelum pandemi corona," kata Kriss.
Dia meyakini para pelancong asing enggan mengunjungi tujuan yang lebih terpencil, seperti Bali, karena badai perang di Ukraina, inflasi yang tinggi di seluruh penjuru dunia, dan kekhawatiran berkepanjangan tentang Covid-19.
Dengan pariwisata yang menyumbang lebih dari 60% pemasukan ekonomi pulau Bali, dampak Covid tampak nyata di pusat-pusat wisata di Kuta, Seminyak dan Nusa Dua yang dulu ramai.
Puluhan bisnis pariwisata, mulai dari pertokoan, bar, restoran, klub malam, dan vila, melompong atau terbengkalai.
Dan jalanan yang dulunya meriah dengan kehadiran turis Australia, Asia, dan Eropa, kini masih sepi.
Made Suryani membuka kembali toko suvenir kecilnya di dekat resor Club Med Beach di dekat Nusa Dua pada April, meskipun sebagian besar aktivitas ritel lain di sampingnya tetap tutup.
"Sebelum Covid, di bulan yang baik, saya bisa mendapatkan lebih dari dua juta rupiah sebulan," ungkapnya.
Itu sedikit di bawah upah minimum bagi pekerja di Bali.
"Sekarang kadang-kadang saya mendapat Rp50.000 dalam sepekan. Saya meminjam uang dari keluarga untuk bertahan hidup, dan saya tidak tahu bagaimana saya akan membayarnya kembali," katanya.
Di pusat perbelanjaan dan restoran Nusa Dua Bali Collection, area yang sebelumnya menampung beberapa restoran top pulau itu, kini dipagari dan sepi.
Dari unit yang tersisa, sekitar 80% tetap kosong.
"Sebagian besar bisnis ini raib untuk selamanya," ujar Kiran Vijay, yang menjalankan toko kerajinan dan perhiasan di area itu.
Dia mengatakan pihak manajemen sangat membantu, sehingga memungkinkan para penyewa tetap dibebaskan dari biaya sewa selama hampir dua tahun terakhir.
Namun Vijay menambahkan jumlah turis turun dari sebanyak 5.000 orang sehari sebelum pandemi, menjadi hanya beberapa ratus orang saja belakangan ini.
"Mereka harus menurunkan harga sewa secara drastis untuk menarik penyewa baru," tambahnya.
Baca juga:
- Virus corona: Sekitar 50 juta orang akan kehilangan pekerjaan di sektor pariwisata akibat pandemi
- Virus corona berpotensi melenyapkan triliunan rupiah dari sektor pariwisata Indonesia
Namun ada beberapa titik terang.
Komunitas ekspatriat di Bali yang beranggotakan 110.000 orang, yang mencakup banyak nomaden digital, para yogi, dan peselancar, telah membuat area seperti Canggu, Ubud, dan Uluwatu, terus berkembang, dengan harga sewa vila sekarang hampir kembali ke tingkat sebelum Covid.
Dan pemesanan di resor bintang lima di Bali juga kian meningkat, dengan hotel-hotel kelas atas mengalami lonjakan permintaan yang besar.
Namun, sebagian besar pengunjung ini adalah wisatawan domestik dari bagian lain Indonesia, terutama ibu kota Jakarta dan Surabaya, kota terbesar kedua.
Sebelum Covid-19, banyak dari mereka menganggap Bali terlalu mahal.
Tetapi dengan hengkangnya turis asing untuk sementara waktu, mereka saat ini bisa mendapatkan potongan harga, dan fasilitas khusus seperti naik helikopter gratis yang tersedia secara eksklusif di situs pemesanan perjalanan di Indonesia.
Namun, banyak staf hotel masih bekerja dengan pengurangan gaji, dan sebagian turun hingga 10% dari tarif pra-pandemi.
Tetapi bagi pihak perhotelan dan resor, adanya pemasukan itu lebih baik ketimbang tidak sama sekali.
Sementara itu, banyak karyawan hotel dan pekerja perhotelan lainnya yang diberhentikan pada awal kebijakan pembatasan.
Mereka kembali ke desa asalnya untuk bekerja di lahan pertanian milik keluarga.
Ketika sebagian pengamat menganggap bahwa Bali akan jatuh ke jurang kekacauan selama pandemi, ternyata kehidupan terus berjalan, karena dibantu ikatan keluarga yang kuat di pulau itu dan pengaruh budaya Hindu.
Dunia bisnis, di sisi lain, dapat menghentikan sementara operasi tanpa takut disita pihak perbankan, karena sebagian besar properti di wilayah itu dibeli langsung secara tunai.
Julia Lo Bue-Said adalah pimpinan Advantage Travel Partnership, sebuah organisasi yang mewakili agen perjalanan independen Inggris.
Dia mengatakan, perjalanan jarak jauh dari Inggris ke tujuan seperti Bali "lebih lambat untuk pulih", jika dibandingkan dengan destinasi liburan di kawasan Eropa, yang disebutnya "geliatnya ada dan terus tumbuh".
"Secara jangka panjang akan ada pertumbuhan signifikan dalam 12-18 bulan ke depan, karena terlepas dari krisis biaya hidup, orang-orang masih bersemangat untuk menjelajah, bepergian, dan memiliki sesuatu untuk dinanti, menyimpan kenangan lama seumur hidup," paparnya.
Kriss yakin bahwa - jika diberikan kesempatan - Bali akan kembali lagi ke masa kejayaannya.
Dia mengatakan terlalu banyak yang ditawarkan dalam hal keindahan alam, dan sifat ramah, terbuka, dan toleran dari masyarakat Bali.
"Bali akan kembali kuat seperti dulu," katanya. "Saya tidak ragu tentang itu.
"Barangkali butuh waktu bertahun-tahun, tetapi orang Bali sangat telaten, dan optimisme adalah bagian dari struktur masyarakat mereka - mereka percaya pada karma."