Suara.com - Indonesia mesti lepas dari masalah korupsi yang membelenggu seluruh kapasitas nasional, hingga sampai hari ini terjerat utang hingga Rp 7000 triliun. Salah satunya, skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan penerbitan obligasi rekap BLBI. Selain itu pada hari ini ekonomi dalam tekanan berat karena inflasi dan perlambatan di saat yang sama.
Staf Ahli Pansus BLBI Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI), Hardjuno Wiwoho mengatakan, saat ini skandal BLBI sedang dikejar oleh Satgas BLBI yang menyatakan angka piutang Rp 110 triliun. Sementara obligasi rekap membuat APBN musti membayar bunga rekap puluhan triliun setahun sampai 2043 nanti.
“Sekarang bayar bunga dan cicilan utang per tahun Rp 400 triliun. Beban APBN makin besar, pajak rakyat kecil akhirnya dikejar-kejar. PPN naik, lihat NIK KTP bayar Rp 1000, bandingkan dengan obligasi rekap yang membuat pemerintah mensubsidi bank-bank besar sampai Rp 70 triliun setahun dari 1999 sampai 2043 nanti, atau kalau ditotal Rp 4000 triliun sendiri untuk bayar obihasi rekap,” ujar Hardjuno dalam keterangan resminya.
Menurutnya dalam kondisi tekanan ekonomi saat ini pemerintah mesti benar-benar menekan pengeluaran dan memaksimalkan pendapatan. Terutama dari tindak kejahatan negara seperti BLBI.
Selain moratorium pembayaran bunga rekap, Pemerintah juga musti memback-up kerja Satgas BLBI dalam upaya menarik piutang negara dalam skandal BLBI.
“Satgas harus dibantu bekerja agar sita aset atau ambil cash para pengemplang itu lebih mudah. Negara sedang butuh pemasukan, tekanan inflasi dan perlambatan ekonomi ini berat sekali,” kata Hardjuno.
Kejahatan keuangan di masa lalu menurut Hardjuno harus dituntaskan pada hari ini agar tak ada lagi yang ditinggalkan untuk masa pemilu 2024.
Politik di Indonesia jangan lagi dibebani oleh masalah masa lalu seperti saling kunci dalam kesalahan penerbitan BLBI maupun rekap.
“Tekanan Covid belum usai, sekarang perang Rusia Ukraina. Krisis pangan, energi, rupiah melemah akibatnya harga impor pangan dan energi naik tinggi. Rakyat kecil terlalu lama menderita. Sudahlah, pengemplang BLBI segera beresi saja. Kalau mau, pasti bisa dan cepat,” tandas Hardjuno.
Baca Juga: Kisah Sapi Slamet dari Probolinggo yang Dibeli Presiden Jokowi Seharga 100 Juta Rupiah
Di kesempatan terpisah, peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng mengatakan bahwa beban negara sudah terlalu berat maka tak ada pilihan bagi negara untuk segera menghentikan pengeluran-pengeluaran yang tidak penting bahkan keliru.
Karenanya, pemerintah juga diminta mengoptimalkan penagihan piutang negara BLBI agar negara memperoleh tambahan penerimaan, sehingga bisa mengurangi defisit anggaran yang otomatis mengurangi penarikan pembiayaan dari utang.
Menurut Salamuddin, dengan waktu hanya sampai akhir tahun 2023, Satgas BLBI perlu lebih keras lagi melakukan penagihan piutang negara BLBI agar setidaknya pada tahun ini mampu mengembalikan lebih dari 50 persen kewajiban para debitur nakal kepada negara.
“Waktu kan terbatas, penagihan ini penting uangnya balik dan juga menunjukkan secara politik negara serius melawan pengemplang,” kata Salamuddin.
Melemahnya rupiah atas dolar pasti juga memiliki dampak serius pada utang Indonesia. Ini perlu diperhatikan pemerintah juga.
“Sikap tegas Satgas saat ini ditunggu oleh masyarakat, karena kinerjanya dinilai lamban. Piutang yang ditarik Satgas saat ini belum mencapai 25 persen dari total piutang yang ditargetkan sebesar 110 triliun rupiah," pungkas dia.