Suara.com - Anggota Komisi IV DPR RI Daniel Johan mengapresiasi perjuangan Presiden Joko Widodo alias Jokowi untuk mengatasi ancaman krisis pangan yang diprediksi akan dialami oleh negara-negara berkembang akibat dari perang antara Rusia dan Ukraina.
Menurut Daniel Johan, langkah Presiden Jokowi bertemu dengan dua kepala negara bertikai yakni Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dan Presiden Rusia Vladimir Putin bukan hanya untuk kepentingan Indonesia, namun lebih pada kepentingan rakyat di negara-negara berkembang.
“Tentu kita apresiasi karena ini terobosan pak Presiden bukan hanya untuk menyelamatkan kondisi Indonesia tetapi juga merangkul solidaritas menjadi suara rakyat dibanyak negara berkembang. Jadi ini bagian terobosan dan upaya pak Presiden agar persoalan pangan menjadi perhatian dunia,” kata Daniel Johan kepada wartawan, Jumat (8/7).
Kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini mengatakan, perang antara dua negara Eropa Timur ini akan berpengaruh pada krisis pangan yang ekstrim, dan Indonesia juga terancam mengalami hal serupa karena beberapa negara penghasil pangan sedang menghadapi perubahan iklim, dan itu sangat berpengaruh besar bagi produksi pangan.
Baca Juga: Rayakan Idul Adha, Jokowi Berikan Sapi Seberat 800 Kilogram ke 34 Provinsi
“Tentu sangat menghawatirkan, artinya krisis pangan ini sudah semakin nyata dan akan semakin nyata ke depan, jadi dua hal selain dampak dari perang yang tidak jelas kapan berakhir, membuat banyak menimbulkan disrupsi termasuk disrupsi logistik dan lainnya. Kedua juga faktor perubahan iklim sepeti terjadi ambang batas panas di Jepang, dan akan terjadi badai tropis di sejumlah negara penghasil lengan termasuk Vietnam, dan ini akan semakin memperdalam keseriusan persoalan pangan,” ucapnya.
“Semua ini mendorong meningkatnya harga-harga bahan pokok yang dibutuhkan atau yang menghasilkan produksi pangan seperti energi dan pupuk, khususnya pupuk ya. Sehingga kenaikan pupuk itu kalau disiasati dengan baik akan berimplikasi dan berdampak pada kesejahteraan petani, berimplikasi pada dropnya produksi dan per implikasi pada meroketnya inflasi,” tambahnya.
Olehnya itu, politisi asal Kalimantan Barat ini menyarankan agar para Menteri terkait secepatnya membahas kemungkinan-kemungkinan atau program darurat untuk mengantisipasi ancaman krisis pangan ini.
“Secara umum itu menghawatirkan dan harus mendapat perhatian serius para Menteri terkait, harus membahas kemungkinan-kemungkinan dan merumuskan program-program darurat untuk mengantisipasinya,” sarannya.
Meski terancam, Daniel Johan masih merasa optimis dengan kondisi alam Indonesia, terkhusus di pedesaan yang masih mengandalkan cocok tanam dalam menopang hidup keseharian mereka, hingga dampak dari krisis pangan ini tak akan dirasakan oleh masyarakat di desa, dan hanya di perkotaan yang mengalami ancaman krisis tersebut.
“Yang agak membuat Indonesia lebih aman dibanding negara tropis lainnya adalah di desa-desa itu orang masih bisa menanam sendiri untuk memenuhi kebutuhannya, bulan dalam konteks perdagangan. Termasuk di sungai, laut itu masih bisa menangkap ikan untuk kebutuhan sehari, hari dan itu sangat membantu, terkecuali masyarakat di Kota akan merasakan krisis yang serius,” jelasnya.
Senada dengan Daniel Johan, Pengamat Pertanian dan Pangan Wayan Supadno menuturkan, keputusan Presiden Jokowi bertemu dengan pimpinan negara-negara dunia di KTT G7 di Jerman dan bertemu dengan Presiden Zelenskyy dan Putin menunjukkan ciri khas orang Indonesia, yakni memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi.
“Harus memang begitu dan itu ciri khas orang Indonesia, artinya agar dunia tau bahwa Indonesia ini warganya itu punya nilai kemanusiaan yang tinggi, punya kepedulian terhadap kemanusian. Kalau sudah kemanusiaan maka kepedulian antar bangsa,” kata Wayan.
Wayan pun optimis Indonesia tidak akan mengalami krisis pangan karena memiliki devisa yang cukup mendukung, yakni stok CPO Sawit yang cukup besar dan siap diekspor ke negara luar. Tetapi, Wayan mengiyakan jika Indonesia akan mengalami lonjakan harga pangan, karena kebutuhan produksi seperti pupuk dan pestisida masih diimpor dari Rusia dan Ukraina.
“Krisis pangan tak mungkin terjadi, tapi kalau terjadi lonjakan harga pangan itu pasti, kalau krisis tidak. Namun hal ini akan terjadi tergantung kecepatan pemerintah untuk mengekspor CPO supaya cadangan devisa banyak dan cadangan devisa kita harus sehat. Kita harus tau diri bahwa pangan kita itu sekitar Rp 300 triliun impor, sebanyak itu baik pangan maupun sarana produksinya, nah kita harus siapkan devisanya,” ujarnya.
“Kalau pangan di Indonesia harganya naik untuk komuditas tertentu pasti, karena kita harus impor, misalkan pupuk dan pestisida kita harus impor untuk mendongkrak harga produksi pangan kita. Jadi harga pupuk kimia itu melonjak akibat perang Rusia-Ukraina dan pangan menjadi mahal karena keadaan. Kita harus perkuat devisa dengan perbanyak mengekspor CPO yang sedang parkir sebanyak 6,1 juta ton, atau itu setara dengan Rp 135 triliun devisa kita,” tutupnya.