Suara.com - Kenaikan harga BBM subsidi berpotensi menaikkan inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat. Pengamat berharap, pemerintah lebih berhati-hati dan memilih untuk membuat kebijakan pembatasan agar penyaluran BBM bersubsidi bisa lebih tepat sasaran, ketimbang harus melakukan penyesuaian harga.
"Kalau misalnya saat ini dinaikkan, maka akan memberikan kontribusi signifikan terhadap inflasi yang kemudian akan menurunkan daya beli," kata Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi, Jumat (8/7/2022).
Berdasarkan data terkait, lanjut dia, untuk BBM bersubsidi jenis pertalite dan solar, sekitar 60 persen penggunanya tidak sesuai sehingga salah sasaran.
Dengan demikian, jika pembatasan subsidi berhasil dilakukan oleh pemerintah, maka akan terjadi penghematan. Dengan demikian, efektivitas penggunaan BBM bersubsidi itu dapat mengurangi beban anggaran subsidi dan kenaikan harga BBM tidak perlu dilakukan.
Baca Juga: Harga Bahan Pangan Melonjak, Ganjar Siapkan Langkah Operasi Pasar Atasi Inflasi di Jateng
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengingatkan kembali bahwa harga bahan bakar minyak (BBM) jenis pertalite saat ini merupakan hasil subsidi energi yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Negara kita ini masih tahan untuk tidak menaikkan harga pertalite. Ini kita masih kuat dan kita berdoa supaya APBN tetap masih kuat memberi subsidi. Kalau sudah tidak kuat, mau bagaimana lagi," kata Presiden dalam sambutannya pada acara puncak peringatan Hari Keluarga Nasional Ke-29 di Medan, Sumatera Utara.
Melalui kesempatan tersebut, Presiden menyampaikan kondisi geopolitik di Eropa berdampak pada harga pangan, energi minyak, serta gas di semua negara.
Presiden menuturkan harga minyak saat sebelum pandemi sebesar 60 dolar AS per barel, sedangkan saat ini naik dua kali lipat hingga mencapai 110-120 dolar AS per barel.
Baca Juga: 5 Kondisi Sengsara Sri Lanka Dihantam Krisis Ekonomi Terburuk, Bisa Sampai 2023