Suara.com - Harga minyak dunia merosot sekitar 2 persen ke level terendah 12 pekan dalam perdagangan pada hari Rabu, memperpanjang kerugian besar sesi sebelumnya karena investor semakin khawatir permintaan energi akan terpukul dalam potensi resesi global.
Mengutip CNBC, Kamis (7/7/2022) minyak mentah berjangka Brent untuk kontrak pengiriman September, patokan internasional, ditutup anjlok USD2,08, atau 2,0 persen menjadi USD100,69 per barel.
Sementara itu, patokan Amerika Serikat, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI), turun 97 sen, atau 1,0 persen menjadi menetap di posisi USD98,53 per barel.
Kedua benchmark mitu ditutup pada level terendah sejak 11 April, di wilayah jenuh jual secara teknikal untuk hari kedua berturut-turut. Minyak solar berjangka Amerika juga tersungkur lebih dari 5 persen.
Baca Juga: Ancaman Resesi Ekonomi, Harga Minyak Dunia Anjlok 9 Persen
Perdagangan bergejolak, dengan kedua patokan minyak mentah melesat lebih dari USD2 per barel di awal sesi, didorong kekhawatiran pasokan, dan anjlok lebih dari USD4 per barel pada sesi terendahnya.
Minyak mentah berjangka sangat fluktuatif selama beberapa bulan. Selasa, WTI melorot 8 persen sementara Brent jatuh 9 persen penurunan USD10,73 yang merupakan terbesar ketiga bagi kontrak tersebut sejak mulai diperdagangkan pada tahun 1988. Penurunan terbesarnya adalah USD16,84 pada Maret lalu.
Analis Goldman Sachs dan UBS mengatakan harga minyak tersungkur karena kekhawatiran resesi.
UBS mengutip berbagai alasan, termasuk penurunan perdagangan minyak sebagai lindung nilai inflasi, dolar AS yang lebih kuat, hedge fund yang bereaksi terhadap momentum harga minyak negatif, lindung nilai produsen, dan kekhawatiran pembatasan mobilitas terbaru di China.
Dengan Federal Reserve diperkirakan terus menaikkan suku bunga, open interestdi minyak berjangka WTI turun pekan lalu ke level terendah sejak Mei 2016 karena investor mengurangi aset berisiko.
Baca Juga: Ancaman Resesi Global, Harga Minyak Dunia Melonjak 2 Persen
"Ada kekhawatiran yang tidak dapat disangkal tentang kehancuran permintaan akibat resesi, ditambah, open interest WTI di posisi terendah multi-tahun menciptakan sedikit krisis likuiditas," kata Robert Yawger, Direktur Mizuho.