Suara.com - Skema batasan jumlah produksi yang menjadi dasar utama penetapan struktur tarif cukai hasil tembakau dinilai berpotensi membuka peluang penghindaran cukai yang membuat penerimaan negara tidak optimal.
Akademisi Oce Madril menjelaskan penelitian yang dilakukannya sepanjang tahun 2021 menunjukkan ada beberapa potensi penghindaran yang bisa muncul dari skema struktur tarif cukai saat ini. Hal tersebut disebabkan, antara lain lebarnya selisih tarif cukai rokok antara golongan I yang paling tinggi dengan golongan II yang lebih murah.
“Dengan selisih tarif yang lebar antara golongan I dan II, maka pengusaha cenderung memilih masuk dalam golongan II, meskipun sebenarnya secara kemampuan produksi, mereka masuk dalam kategori golongan I. Pengusaha yang masuk dalam golongan II tersebut tentu akan membayar tarif cukai yang jauh lebih murah,” kata Oce di Jakarta, Selasa (5/7/2022).
Saat ini, pabrikan dengan produksi lebih dari 3 miliar batang rokok per tahunnya akan masuk dalam golongan I, dan masuk ke dalam golongan II jika produksinya tidak lebih dari 3 miliar batang rokok.
Baca Juga: Ekonom: Penerimaan Negara Bakal Tidak Optimal Jika Sistem Cukai Rokok Masih Bertingkat
Salah satu modus yang dapat terjadi untuk menghindari membayar cukai tinggi adalah tidak melaporkan produksi secara benar dan faktual. Apalagi jika pengawasan yang dilakukan lemah, maka pelanggaran jenis ini dapat terjadi.
Modus ini bisa terlihat ketika terjadi selisih antara jumlah pelekatan pita cukai dengan jumlah produksi yang dilakukan perusahaan.
Oce menegaskan praktik modus tidak melaporkan jumlah produksi rokok secara benar dapat merugikan penerimaan negara. Praktik tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk menghindari tarif cukai tinggi, mengingat penetapan golongan tarif sangat berkaitan dengan jumlah produksi dalam satu tahun.
Kedua, perusahaan dapat menahan produksi rokok. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan agar produksi mereka tetap berada di bawah 3 miliar dan menikmati tarif cukai yang lebih murah.
Untuk menghindari potensi kerugian negara, Oce merekomendasikan pemerintah mengubah skema jumlah produksi yang menjadi dasar penggolongan pabrikan rokok. Usulan yang lebih moderat angka produksi 2 miliar dapat dijadikan sebagai ambang batas. Sebagaimana yang sebelumnya pernah diterapkan untuk semua jenis rokok berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 179/PMK.011/2012.
“Dengan menetapkan batasan jumlah produksi ke angka 2 miliar, maka ambang batas dikembalikan pada kebijakan ambang batas semula,” kata Oce.
Dengan begitu, pabrikan yang memproduksi di bawah 2 miliar masuk dalam golongan II dan untuk pabrikan dengan produksi lebih dari 2 miliar batang akan masuk dalam golongan I.
Oce menyarankan agar Badan Pemeriksa Keuangan memperkuat audit secara berkala untuk verifikasi laporan produksi pabrikan rokok.
Sementara itu, Pengamat ekonomi Riset Center of Reform on Economics Piter Abdullah mengatakan tarif cukai yang diatur berdasarkan jenis hasil tembakau, batasan produksi dan harga perlu disederhanakan agar jarak harga tidak terlalu jauh.
“Dengan struktur tarif cukai yang sekarang ini, khususnya untuk pabrikan rokok bisa bermain di batasan produksi menggunakan layer-layer yang mereka miliki sehingga mereka bisa menekan pembayaran cukainya dan mengurangi cukai yang dibayarkan,” katanya.
Dia mengatakan penyederhanaan struktur tarif cukai seharusnya dilakukan secara bertahap untuk membantu menurunkan prevalensi perokok, termasuk juga menaikkan penerimaan negara dari sektor cukai.